04. Hari Terindah

56 16 34
                                    

Hari yang melelahkan terasa berubah indah kala netra lelaki itu mendapati senyum cerah dari wanitanya. Cardigan cokelat milik wanita itu terembus angin saat ia berlari mendekat. Saat ini langit mulai menampakan sirat jingganya. Wanita itu kini berdiri tepat di depan Nanda.

Tatapannya yang selalu sama, selalu terasa hangat, serta harum orange blossom yang kerap kali membuat Nanda tak mampu pergi jauh. Sekali lagi Nandana jatuh cinta pada wanita itu.

"Mas, nunggunya lama, ya? Maaf tadi aku telat baca WA kamu." suara Ajeng mengiterupsi pikiran Nanda.

"Baru sampe kok. Laper, gak? Makan yuk!" ajaknya sembari memasangkan helm kelabu pada kekasihnya. Ajeng segera mengangguk antusias.

Bersama dekap sang kekasih, Nandana kembali pada hari terindahnya. Di atas sepeda motor yang melaju pelan di antara ramai kota Yogyakarta, Nanda menemukan tawa yang lagi-lagi terasa candu.

Keduanya sama-sama membiarkan diri mereka tenggelam dalam asmara. Sama-sama tak menghiraukan dinginnya hari yang mulai larut. Lengan Ajeng yang melingkar pada pinggang ramping Nanda mengerat. Ia meletakan dagu tepat di bahu lelakinya untuk mendapati wajah itu. Bahkan dari samping saja lelaki itu terlihat sempurna. Bulu matanya yang panjang seolah menari kala ia berkedip. Bagi Ajeng, Nanda akan selalu jadi keelokan dari ciptaan tuhan.

"Mas Nanda!" panggil Ajeng yang memecah hening antar keduanya, Nanda sedikit menoleh.

"Kita makan ronde, aja yuk!" lanjut wanita itu.

"Hah?! Apa?" Deru mesin motor dan riuh ramai jalanan membuat Nanda sulit mendengar suara Ajeng.

"Makan ronde!" Ajeng mengulang ucapannya dengan lebih lantang.

"Oh, Siap, Mbak Ajeng." sahut Nandana sembari melirik ke arah spion motornya, di sana ia menemukan wajah dahayu itu tengah tergelak.

Motor Nanda berhenti tepat di depan tenda wedang ronde. Keduanya memasuki tenda dan memesan dua porsi wedang ronde tanpa kacang. Setelahnya mereka duduk berdampingan, bersama-sama menikmati hangat wedang ronde yang mengalir ke tenggorokan.

"Ajeng..." Nanda membuka topik.

"Ya?"

"Cinta aku ke kamu tuh kayak matahari, terbit setiap hari dan gak akan berhenti sampai hari kiamat." ungkap Nanda yang terdengar amat menggelikan.

"Mas..." Ajeng bersuara.

"Ya?"

"Jangan kebanyakan main sama Evan," Nanda tergelak setelah mendengar penuturan kekasihnya yang kini memasang raut wajah serius. "Kamu serem kalo kayak dia." Lanjut Ajeng.

Nanda masih tak meredakan tawanya. Tapi Ajeng ada benarnya, akan sangat mengerikan jika dirinya menjadi seperti Evan Chandara. Salah satunya seperti barusan, gombalan semacam itu kerap kali tercetus dari otak receh anak itu.

"Kayaknya kamu lebih bagus ganti roommate deh. Bahaya kamu, Mas." Ajeng berpendapat.

"Hahaha. Kalo aku sekamar sama Echan, dia bisa aku tanya-tanyain. Coba kalo aku tanya masalah cinta sama Ija, wah bukan main tuh jawabannya." Mungkin saat ini telinga Echan sudah terasa kebas.

"Iya aku juga gak ikhlas kamu sama Jivano, nanti kamu ketularan playboy, jangan deh! Arjuna aja, better." Ajeng kembali memberi saran, tentunya ia tidak serius.

Pembicaraan yang tidak begitu penting sebenarnya, namun akan sangat berharga bagi sepasang kekasih itu.

{Filosofi Cinta}
.
.
.

Di sudut lain kota Yogyakarta, dua insan sedang asik dengan pembicaraan tentang pagelaran budaya yang baru selesai mereka saksikan. keduanya berjalan di antara remang parkiran gedung pagelaran, jangan lupakan tawa yang ikut melingkup mereka, serta langkah sejajar yang menyatukan tujuan keduanya.

Filosofi Cinta | Na JaeminWhere stories live. Discover now