Sugar B 02

7.4K 523 14
                                    

Fajar sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Sederhana cuma dengan sebiji telur—yang dicampur dengan tepung dan air, supaya bisa menghasilkan telur dadar nan lebar. Sehingga bisa dibagi menjadi empat, untuk makan sekeluarga. Pun kecap manis untuk menambah citarasa. Jujur saja Fajar menahan tangis. Hampir setiap hari ia makan dengan menu yang sama. Paling-paling cuma diganti tempe atau tahu saja. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali makan ikan dan daging ayam.

Fajar, semangat, jangan nangis di depan mama sama papa, batin Fajar menyemangati diri sendiri. “Fajar? Nora? Ini uang saku buat kalian, ya?“ ucap Diajeng dibarengi senyuman manis sembari memberikan uang lima ribu rupiah kepada Fajar dan Nora. “Iya, ma,“ sahut Fajar. Setelah selesai sarapan. Fajar menyempatkan diri untuk mencuci piring terlebih dahulu. Fajar sengaja melarang Nora membantu dirinya mencuci piring, karna Fajar tidak ingin tangan Nora menjadi kasar. Terlebih Nora adalah seorang perempuan.

Nora pun mengambil tas sekolah yang tergantung di dinding. Ia memandangi Fajar dari kejauhan. Ia merasa iba. Lalu, ia pun keluar rumah lebih dulu; menunggu Fajar selesai dari pekerjaan dapur. Setelah mengeringkan tangan dengan lap. Fajar pun ke kamar sebentar. Uang lima ribu rupiah tadi ia selipkan di buku, lalu ia simpan di dalam lemari. Benar. Fajar rela menahan lapar di siang hari, dan tidak membeli apapun demi menabung. Dia juga membawa air minum dari rumah. Berbeda dengan teman-teman sekolahnya—yang cuma tinggal beli begitu saja di kantin.

“Dek? Maaf lama, ya?“ ucap Fajar meminta maaf. “Nggak papa, kak,“ sahut Nora. Fajar pun duduk di atas sepeda terlebih dahulu. Barulah Nora duduk di kursi belakang, lalu menggenggam kedua sisi seragam sekolah Fajar di bagian p i n g g u l. Setiap hari Fajar harus berboncengan dengan sang adik. Sepeda tua itu begitu setia menemani Fajar dan Nora dalam menimba ilmu di sekolah, mulai dari SD hingga SMP. Siapa bilang malu? Hal itu sama sekali tidak ada dalam kamus kehidupan Fajar.

Nora berdecak kagum; memandangi bangunan pencakar langit di tepian kota. Seulas senyum tipis pun terukir di bibir mungilnya. “Kak Fajar,“ seru Nora. “Hm?“ sahut Fajar. “Suatu saat aku bakalan kerja di gedung itu,“ ucap Nora menunjuk pada bangunan perkantoran di seberang sana. Fajar pun menoleh sebentar. “Dek, kakak yakin, suatu saat kamu pasti bisa kerja di sana. Kakak janji bakalan berusaha kerja cari nafkah, buat kamu, mama sama papa,“ ucap Fajar.

“Kak Fajar! Aku duluan, ya!“ ucap Nora tersenyum sumringah. Ia pun langsung melesat ke dalam begitu saja. Sesaat setelah sepeda—yang Fajar kendarai memasuki halaman sekolah. Fajar tersenyum melihat tingkah menggemaskan sang adik. Fajar pun berjalan menuju parkiran. Di sini juga banyak pengguna sepeda—pun banyak pengguna motor. Seluruh parkiran dari ujung sampai ujung terlihat sudah mulai penuh. Huft, untung saja sepeda gue masih bisa nyempil di dalem, batin Fajar.

“Hoi! Fajar ganteng!“ seru Hanifa. “Gue Fajar~ Bukan Fajar ganteng,“ ucap Fajar membetulkan. Hanifa ini selalu saja menambah imbuhan ganteng, tiap kali menyapa dirinya. “Tapi, lu beneran ganteng tau,“ tukas Hanifa. “Seterah lu dah,“ ucap Fajar masa bodoh. Hanifa, dia satu-satunya orang yang benar-benar mau berteman dengan Fajar. Fajar heran, apakah dia tidak ingin berteman dengan yang lain? Dia selalu saja menempel seperti permen karet.

Saat jam mata pelajaran pertama IPA. Beberapa anggota OSIS mengetuk pintu kelas; permisi ingin masuk ke dalam sebentar sambil membawa kardus. Di sana ada Bisma dan beberapa anggota lain. Fajar berpura-pura tidak tau saja, dan lebih memilih membaca; apa yang baru saja diajarkan oleh Bu Esti di depan sana. Jujur juga bukan karna Fajar takut kepada Bisma. Dia cuma malas saja meladeni si belagu Bisma itu.

“Mohon maaf mengganggu, di sini kami cuma mau minta sumbangan sukarela dari kalian semua, seribu doang nggak papa,“ ucap Bisma. Lalu, ia pun berkeliling. Tiba di meja Fajar. Bisma pun berhenti di sana. “Fajar? Nggak ikutan nyumbang?“ tanya Bisma. Lebih tepatnya menyindir. Fajar pun mengangkat kepalanya. Bisma tersenyum miring. “Gue nggak bawa uang,“ sahut Fajar. Bisma pun beroh ria. Lalu, ia ambil uang sepuluh ribuan selembar dari saku baju seragam. “Ini uang sepuluh ribu, gue masukin ke sini atas nama lu,“ ucap Bisma sarkasme sembari menaruh uang itu ke dalam kardus.

“Jangan salah, gue nggak ngasih lu cuma-cuma alias lu ngutang sama gue,“ ucap Bisma lagi. “Bisma lu—“ ucap Fajar. Belum senpai ia menyelesaikan kata-katanya. Bisma telah berjalan ke depan; pamit undur diri kepada Bu Esti, lalu keluar kelas. “Jar,“ seru Hanifa pelan dari belakang sembari mengetukkan jarinya di pundak Fajar. Fajar pun menoleh. “Lu nggak papa?“ tanya Hanifa cemas. “Gue nggak papa kok, Han,“ sahut Fajar tersenyum. Tentu saja Fajar sedang tidak baik-baik saja. Bisma itu penuh tipu muslihat. Semua orang pasti berpikir itu cuma uang sepuluh ribu biasa. Tapi, tidak bagi Bisma ataupun Fajar. Hal ini justru akan menjadi jalan bagi Bisma untuk mengganggu Fajar ke depannya.

Jarum jam sudah mengarah pada pukul 14:20. Itu artinya seluruh murid di sekolah ini sudah diperbolehkan untuk pulang. Fajar dan Hanifa berjalan berbarengan menuju parkiran. Fajar melamun; memikirkan harus memulai usaha berjualan apa? Tiba-tiba muncul ide brilian, untuk membuat Bilis Molen dan Luti Gendang. Itu adalah dua jenis kue Khas Batam. Pasti laku keras, deh?, batin Fajar.

Di depan mushola; Bisma dan teman-teman duduk di atas motor. Semua murid memang sudah mulai pulang ke rumah masing-masing. Tapi, dia biasa santai dulu di sana. Tiba-tiba Fajar pun muncul sambil menggiring sepeda bututnya itu menuju pintu gerbang, karna Nora juga sudah menunggu di sana. Bisma menatap Fajar sinis. Tatapan itu selalu ia arahkan kepada Fajar tiap kali ia melihat Fajar di depan mata. Fajar sendiri tidak begitu mengerti, mengapa Bisma bisa sebenci itu kepada dirinya. Hah, mungkin karna Fajar orang miskin, dan Bisma orang kaya?

Nora baru saja ingin duduk di kursi belakang, tapi Bisma tiba-tiba datang menghampiri. “Fajar,“ seru Bisma dingin. Nora gugup bisa melihat Bisma sedekat ini. Dia ganteng juga, ya?, batin Nora tersipu malu. Tapi, Bisma tidak menoleh padanya sama sekali. “Jangan lupa, lu masih ngutang sama gue sepuluh ribu,“ ucap Bisma penuh penekanan. Nora terus saja menatap Bisma. Tapi, beberapa saat kemudian, ia pun mengalihkan pandangannya ke objek lain.

Sugar B [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang