“Sebenarnya sejak tinggal di asrama, aa sering membuat konten Youtube yang berisi cover lagu. Lagu ini salah satu lagu favorit aa karena liriknya benar-benar menggambarkan perasaan aa.”

“Kalau cinta kenapa harus dipendam?” Dili bergegas menutup mulutnya. Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi disimpan berhasil keluar dengan lancarnya.

“Melihat orang yang dicintai bahagia, rasanya sudah cukup. Karena yang bersama pun belum tentu bisa bahagia. Kelak Ana akan mengerti jika berada di posisi itu.” Kali ini Lana menjelaskan dengan tenang sambil mengarahkan pandangan yang lembut pada Dili. Dia bahkan tersenyum lepas tanpa beban saat mengakhiri kalimatnya.

Masih terlalu cepat
‘Tuk bilang suka
Kukatakan ke diri sendiri
Sudah tak perlu pusingkan
Hubungan kita berdua
Masa depan masih sangat panjang

Lana kembali menyanyikan lagu tersebut. Lirik kali ini seakan mendukung penjelasan Lana tentang alasan orang untuk memendam perasaan. Hanya saja Dili menangkap pesan tersembunyi dari kalimat terakhirnya, Lana mengatakan itu dengan jelas karena dia sedang mengalaminya sendiri.

Seketika Dili teringat pesan ibunya yang tertulis dalam surat di kado ulang tahunnya ke-14. Ibunya berpesan agar Dili fokus belajar hingga bisa meraih masa depan yang cerah. Masa remaja memang sudah sewajarnya merasakan cinta. Alangkah baiknya jika bisa menghindari hal-hal yang akan mengganggu pelajaran. Seakan ibunya tahu bahwa Dili akan mulai jatuh cinta di usia ini.

Sepuluh tahun sudah Dili hidup sendirian tanpa orang tua maupun saudara. Namun, dia selalu menerima kado ulang tahun dari sang ibu setiap tahunnya. Ibunya sengaja menitipkan kado untuk Dili kepada sahabat lamanya, yaitu orang tua Lana dan Kiya, sejak divonis menderita penyakit langka yang belum ada obatnya. Berharap Dili selalu bahagia dan merasakan kehadiran ibunya di hari yang spesial setiap tahunnya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dili memandang jalanan yang basah oleh hujan. Dedaunan yang basah terlihat berkilau akibat pantulan cahaya. Syukurlah kondisi arus lalulintas masih lengang karena belum banyak orang yang keluar pada jam sepagi ini. Ditambah lagi hujan deras yang membuat orang merasa malas keluar rumah.

Setengah jam berlalu, Dili dan Lana sudah sampai di tujuan. Gerbang sekolah berwarna putih terbuka lebar, menyapa para murid baru yang memiliki semangat menggebu. Parkiran mobil terletak di sisi kanan gerbang, sedangkan di sisi kiri adalah parkiran motor, luasnya terasa sangat berlebihan jika menghitung perkiraan jumlah murid di sekolah ini.

Belum banyak kendaraan yang terlihat di tempat parkir. Masih ada setengah jam lagi sebelum bel berbunyi. Sekolah bertingkat tiga dengan bentuk menyerupai angka 100 jika dilihat dari atas tersebut, menghadirkan nuansa hening seperti rumah tak berpenghuni.

“Kita datang terlalu cepat, Ana. Bagaimana kalau aa antar Ana berkeliling dulu agar Ana hafal letak ruangan sekolah kita?” Ana, sejak kecil Lana selalu memanggil nama Dili seperti itu. Alasannya agar nama mereka terdengar mirip. Padahal adik kandung Lana adalah Kiya, tapi Lana tidak pernah membedakan perlakuannya terhadap Kiya dan Dili.

Dili mengangguk mantap, dia segera turun dari mobil yang telah terparkir rapi di antara beberapa mobil lainnya. Lana sudah lebih dulu menunggunya di luar sambil memegang payung berwarna bening milik Dili. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.

Lana berbakat menjadi seorang pemandu, dia menjelaskan dengan saksama setiap ruangan yang mereka lewati. Bukan hanya tentang nama ruangan tersebut, dia bahkan mengajak Dili memasuki ruangan tertentu untuk melihat fasilitas di dalamnya. Ada beberapa ruangan yang akan dipakai untuk MOS, sehingga ruangan tersebut tidak dikunci. Namun, saat mereka memasuki gedung kelas favorit yang memiliki fasilitas lengkap, semua ruangannya tertutup kecuali ruang kelas sebelas, kelas para pengurus OSIS yang bertugas sebagai panitia MOS.

Good Generation (TERBIT✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang