Sepotong Hal Manis Untuk Sahabat

4 4 0
                                    


Alifia imanda

***

Memendam dalam apa pun bentuknya, tidak pernah menjadi acara yang begitu istimewa. Apa lagi mengenai kalimat-kalimat kekecewaan yang terbungkam. Hanya dapat merenggut–menggerutu di dalam benak. Menggores setiap harapan baru. Menumpuk resah yang menyesakkan. Hingga bahkan melumpuhkan rencana.

Suatu hari di musim hujan yang basah. Rumi, siswi salah satu sekolah menengah atas berjalan menuju rumahnya dengan raut wajah penuh kesedihan. Seakan-akan enggan meneruskan langkah. Lunglai sekali hingga tertangkap iba oleh seorang temannya, Dira. Sang teman menghampiri dengan senyuman seakan dia tahu kenapa Rumi menyiratkan kesedihan di wajahnya.

"Kita ke taman kota dulu yuk. Kayaknya kamu perlu lihat keindahan deh!" ujarnya menggandeng lengan Rumi. Tanpa persetujuan dia menyeret Rumi menuju taman yang dimaksud.

Musim hujan identik dengan mendung. Dingin yang begitu lekat. Serta abu-abu awan sering kali membawa berita tidak menyenangkan. Kadang membuat kegaduhan dalam hati, seiring kilatan petir menyambar angin. Taman yang menjadi tujuan mereka pun sama dinginnya. Namun, ada sedikit perbedaan pada bagian keindahan tanaman hias yang terpancar. Terawat dengan penuh telaten.

Rumi masih bungkam dengan tatapan kosong menuju danau buatan, di taman ini. Hingga sebuah cokelat manis mendarat di depan pengelihatannya. Membuyarkan lamunan. "Makan, terus pelan - pelan cerita!" ujar Dira mencoba mengembalikan semangat temannya itu.

Rumi menatap Dira penuh arti. Lidahnya masih kelu untuk mengeluarkan kalimat yang membuatnya sesak selama ini. Buru - buru Dira membukakan cokelat yang tadi dia tawarkan. "Aku nyoba punya kamu ya!" ujarnya tanpa dosa dan melahap potongan cokelat itu. Rumi yang mendengar keluguan Dira terkekeh dan segera merebut cokelat yang telah terpotong itu.

"Menurutmu, pendidikan itu penting?" tanya Rumi mencoba memulai keluh-kesahnya setelah selesai mengunyah cokelat. Dan dibalas dengan anggukan antusias oleh Dira.

"Apa mimpiku terlalu tinggi. Sampai - sampai hilang kendali dan jatuh dihantam badai? Sebentar lagi kelulusan, dan mimpiku harus terus bersabar di sarangnya. Tanpa tahu cara keluar," ujar Rumi masih dengan tatapan kosong.

"Kalau makanan manis bisa membuatmu berbicara tanpa ragu. Aku rela membelikanmu setiap hari," sahut Dira mengukir senyuman teman di sampingnya. "Kau hanya perlu diberi asupan manis Rum. Sebagai penenang. Buktinya setelah makan cokelat kamu bisa bicara. Tanpa ragu. Dan aku kira mimpimu yang tidak bisa keluar dari sarangnya itu bisa perlahan keluar. Dan tercapai," tambahnya, mencoba menghibur dan meyakinkan Rumi dengan kata-katanya.

"Aku bisa diabetes kalau makan yang manis terus. Lagian masalahku bukan hanya itu saja. Aku lelah Ra ...." balas Rumi dengan kekehannya yang memudar.

Tanpa ragu Dira memeluk teman baiknya itu. Menguatkan hati Rumi. "Aku tahu, kamu selalu diremehkan orang tua tanpa tahu apa-apa tentang kepintaranmu. Aku tahu, kamu ingin melanjutkan kuliah. Tapi belum saatnya, Rum. Kamu hebat dalam hal apa pun. Aku jamin, kamu akan bahagia dengan cara yang lain." Dira menasehati Rumi. Disambut pelukan hangat oleh Rumi yang senang akan sikap teman baiknya itu.

"Kecewa boleh Rum, tapi sabarmu harus kuat!" ujar Dira kembali menambahkan di sela-sela pelukan mereka.

"Apa menurutmu Bagas manis? Kau bilang aku perlu sesuatu yang manis untuk menghiburku," ujar Rumi tiba-tiba, mengagetkan Dira.

"Kau menyukai Bagas? Dia sangat manis ... Aku sering memergoki kalian berduaan. Jangan cuekin dia terus kalau begitu, ya!" Sepertinya Dira mengetahui maksud Rumi yang mulai menyukai pria bernama Bagas.

Rumi senang sekaligus tenang semenjak pulang dari acara di taman tadi. Dia bahkan merasa Dira bukan hanya teman, melainkan sahabatnya. Rumi tidak tahu saja, bahwa Dira memang sudah menganggap Rumi sebagai sahabat sejak dulu.

Waktu terus berjalan. Berminggu-minggu Rumi mencoba merelakan, bahwa dia belum bisa mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan karena beberapa hal. Malu, sedih, kecewa bercampur aduk. Tapi dia ingin keluar dari zona itu. Lalu dia mengikuti saran Dira, sahabatnya.

Rumi mencoba membuka hati untuk hal yang manis. Dia semakin dekat dengan Bagas, pria tempo hari yang dibahas olehnya dengan Dira. Ternyata semakin mengenal Bagas, hari-hari Rumi semakin ceria. Benar saja, dia sudah jatuh cinta.

Hari ini, masih di musim hujan yang basah.  Rumi menunggu Bagas selesai berlatih karate. Sepertinya ini rutinitas baru untuknya. "Yuk, pulang!" ujar Bagas memecah lamunan Rumi.

Rumi berjalan disamping Bagas dengan senang hati.  Mereka menuju area parkir sekolah. "Ciee ... Aku duluan ya Rum!!" teriak Dira dengan raut wajah kegirangan. Sepertinya Dira sedang tergesa hingga tidak sempat menggoda sahabatnya lebih lama.

Rumi tersipu malu akan ulah sahabatnya itu. "Kamu sahabat Dira? " tanya Bagas tiba-tiba. Dibalas dengan anggukkan mantap oleh Rumi.

"Aku gak tahu kalau kalian sedekat itu. Dulu, kata teman - temanku Dira menyukaiku. "Bagas mencoba membahas Dira dan kisahnya sewaktu dulu. Jahat memang, mengingat yang diajaknya mengobrol adalah orang yang menyukainya.

"Oh ya?" pekik Rumi kaget dengan apa yang dilontarkan bibir Bagas. Orang yang dia sukai.

"Memang sih, dulu Dira kelihatan tertarik denganku. Dia sering memberikan perhatian-perhatian kecil bahkan selalu ingin satu tim denganku." Bagas kembali menjelaskan.

Rumi jadi mematung mendengar kalimat-kalimat yang baru saja telinganya terima. Kalau itu benar, dia menjadi merasa bersalah karena telah bercerita mengenai Bagas kemarin. "Ahh ... Mungkin aku hanya terbawa suasana. Toh, saat kita sering mengobrol. Dia tidak lagi seperti dulu," sambung Bagas.

"Maksudmu?" tanya Rumi kepalang kaget.

"Iya ... Dia menyapaku kalau kita lagi berdua. Dulu kan, dia sering menyapaku dimana pun kami bertemu." Bagas menjawab pertanyaan Rumi.

Rumi semakin merasa bersalah. Dira merelakan Bagas demi dirinya. Lemas sekali rasanya setelah mengetahui bahwa mereka menyukai pria yang sama. Mungkin diwaktu yang bersamaan juga. Apa maksudnya ini? Saking lemasnya, Rumi kali ini hanya bisa mengangguk lemah dengan kaki yang terus berjalan ke area parkir sekolah.

Sesampainya mereka disana. Dengan pikiran kacau, Rumi melontarkan pertanyaan tanpa disangka. "Jadi, kamu menyukai siapa?" Bagas terpaku mendengar pertanyaan Rumi.

Rumi benar-benar menanti jawaban Bagas dengan pikiran yang kacau. Bahkan pintu mobil yang telah dibukakan Bagas tidak dihiraukannya. Bagas mencoba mengalihkan pembicaraan, dia berjalan masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi.

Menurutnya meskipun Bagas menyukai Dira, setidaknya dia tahu dan mencoba merelakan Bagas secepatnya untuk sahabatnya itu. Seperti yang dilakukan Dira untuknya. "Ayo masuk dulu!" sahut Bagas dari dalam sana.

Rumi duduk di samping bagas yang sedang mencari sesuatu di tasnya. "Sebelum Dira menghindariku. Dia bilang kalau kamu suka cokelat." Bagas memberikan cokelat yang sedari tadi dicarinya.

Kali ini bagian Rumi yang terpaku. Matanya menyoroti ekspresi wajah Bagas. Mencari tahu apa maksud pria itu.

"Jadi, kamu menyukai siapa?" tanya rumi kembali.

"Sitbeltnya jangan lupa dipakai ya, Rumi." Bagas melajukan mobilnya dengan senyuman penuh arti.

Garut, -

Cerita KitaWhere stories live. Discover now