Pasar Setan

2 3 0
                                    

Sofia Hana

Sudah satu jam lebih perkiraan aku memutari jalan ini. Bermula pada pukul 07:01 tadi, aku dan teman-temanku mendirikan tenda di kawasan Gunung Lawu guna ikut dalam kegiatan ngayah yang diadakan. Saat itu, aku hanya butuh air segar untuk mencuci mukaku yang berkeringat sehabis diajak mendaki kaki gunung dini hari tadi. Kebetulan, tenda kami didirikan dekat dengan sungai kecil yang mengalir deras. Aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar untuk mencuci muka. Setelah sampai di sana, karena tidak mau sendalku basah terkena air, aku pun melepas sendalku lalu berjalan mundur tiga langkah sampai akhirnya aku meminum air sungai dengan kedua telapak tangan.

Aku terkesima menutup mata. Ah, segarnya ...."

Setelah cukup dirasa mukaku segar terkena air, kubuka kedua kelopak mata perlahan. Didapatiku sekitarku gelap, seperti halnya hari menjelang malam saja. Tak mau berpikir pusing, aku berniat langsung kembali ke tenda. Namun saat badanku berbalik mencari sendal, aku tidak mendapati sendalku di tempatku tadi menaruhnya. Aneh. Berkali-kali aku memastikannya, tapi tetap nihil, seperti tidak ada jejak barang yang baru saja tertinggal. Menggeleng. Mungkin aku yang salah menaruh sendal, dan kemudian sendal itu hanyut terbawa aliran sungai. Aku memutuskan kembali ke tenda dengan menyeker.

"Lah ... Sungai ini lagi? Aneh," ujarku menggaruk tengkuk saat sadar, bahwa aku kembali ke tempat yang sama lagi dan lagi.

Tiba-tiba, dari langit terdengar suara azan berkumandang. Suaranya terdengar jelas dan dekat.

"Azan?" Aku kebingungan saat mendengar suara azan yang seakan semakin dekat ke arahku. Orang aneh mana yang azan di tengah hutan begini? Dari arah belakang, angin berkesiur sangat kencang. Sekujur tubuhku terasa kaku. Aku terperanjak saat melihat sosok bapak-bapak berkoko putih dengan peci hitam berjalan ke arahku.

"Ingat kata Doddy, harus jaga adab," gumamku pelan berusaha terlihat tenang saat melihat sosok bapak-bapak yang entah kapan sudah berjalan ke arahku. Anehnya, tidak ada suara langkah kaki apapun daritadi kudengar.

"Bapak mau ke masjid?" tanyaku menyapa bapak misterius itu.

Tak ada jawaban. Tapi langkahnya terus mendekatiku. Seketika, kepalaku menunduk tak bisa didongakkan. Aku tetap berusaha menormalkan suasana yang semakin aneh ini. "Masjid di sini deket ya, Pak?" tanyaku lagi yang masih saja tidak mendapat jawaban apa-apa.

Deg! 

Tak ayal, seluruh badanku terasa lemas saat sadar sosok itu berdiri tepat di hadapanku dengan pose mematung. Dia seperti mengucapkan sesuatu, tapi yang kudengar hanya suara mulut yang mengecap. Beberapa menit kemudian, bapak itu berbalik meninggalkanku lalu menghilang di pohon besar yang tak jauh jaraknya dariku. Sebelum menghilang, aku memberanikan diri mengangkat kepala melihat sosok bapak itu.

"T-telinganya panjang?" ujarku gelagapan saat sadar ada yang aneh dengan telinga bapak itu. Kawasan sekitarku semakin gelap, mungkin bapak itu sebenarnya masih berjalan tapi aku tidak bisa melihatnya, mungkin. Tapi untuk telinga panjang, apa aku salah lihat?

Langit masih gelap. Aku takut rombongan teman-temanku sudah pergi meninggalkanku. Bergegas aku berjalan ke arah barat daya, semoga saja aku bisa menyusul mereka.

Setelah berjalan cukup lama,  kini di depanku terlihat ada lampu-lampu menyala. Pikirku itu permukiman warga, dan aku bisa meminta bantuan. Tapi saat aku teliti kembali, mataku terbelalak saat melihatnya.

"Pasar??? Di gunung kayak gini?!" ucapku kaget menggelengkan kepala heran. Tetapi syukurlah, setidaknya suasana tidak sesepi tadi. Aku melayangkan kakiku ke pasar aneh itu berniat bertanya.

Saat sudah sampai, banyak sekali pembeli dan pedagang di sana. Ramai. Tapi, kenapa kesannya tetap terasa sunyi? Orang-orang di sana bercengkerama satu sama lain. Tetapi, aku tidak bisa menangkap jelas percakapan mereka.

"Permisi, Bu. Basecamp di mana, ya?"

Diam. Tak ada jawaban. Ibu-ibu yang kutanya malah sibuk dengan barang dagangannya yang tidak pernah aku lihat barang-barang itu sebelumnya.

"Permisi, Bu. Basecamp ke arah mana, ya?" tanyaku lagi berusaha mengulang, mungkin pertanyaanku tidak terdengar tadi.

Diam. Masih tak ada jawaban. Hampir menyerah aku bertanya. Beberapa menit kemudian, Ibu itu membuka suaranya lirih. "Lenceng mawon, Mas." (Lurus saja, Mas.)

Karena takut salah dengar, aku memberanikan diri bertanya lagi, "Kenapa, Bu?"

"Ampun mersani sawentawis. lurus mawon." (Jangan hiraukan sekitar. Lurus saja) Suara lirih perempuan baruh baya itu terdengar jelas. Suaranya terasa dingin. Yang membuat rambut halus di sekujur tubuhku meremang. Aku tersentak saat melihat ibu itu mengangkat kepalanya perlahan lalu memperlihatkan wajahnya yang ... astaga! Hidungnya tidak ada. Pelan, aku mundur beberapa langkah. Dan ....

Bugh!

Badanku oleng saat menabrak pundak laki-laki berjubah hitam di belakangku. Suasana yang tadinya ramai, berubah menjadi hening.

"Ma-maaf ...!" Mulutku bergetar saat merasakan ada ribuan mata yang melihat ke arahku. Tanpa sadar, kakiku bergerak cepat lari dari sana. Napasku tersengal. Lalu pandanganku menjadi buram. Dan, terjatuh. Saat kubuka mata, sudah ada Doddy dan teman-temanku mengguncang keras tubuhku.

"Hoii, Sarji! Bangun, Ji!!"

"K-kalian ...? Ini jam berapa? Kok terang?" tanyaku linglung melihat langit yang berubah menjadi cerah.

"Ke mana aja? Sampeyan ngilang dua hari!" tanya mereka cemas.

"Dua hari??? Sekarang di mana?"

"Sampeyan sekarang di Pasar Dieng."

Pasar Dieng? Aku memutar pandangan ke sekitar. Benar saja. Terdapat ilalang dan batuan tersusun rapi, ciri khas Pasar Dieng berada. Tapi bukankah jarak antara tenda dan Pasar Dieng 7,75 km? Apakah aku sudah berjalan sejauh itu? Ah, sudahlah, kepalaku sakit mengingat kejadian-kejadian aneh tadi.

Dan di sana, di balik batu besar, muncul sosok perempuan paruh baya yang kutemui tadi mendongak dan tertawa keras. "Loh? Sampun kepanggih  rencangipun, toh. Padahal enggal mawon ajeng kulo antar," (Loh? Sudah ketemu temannya, toh. Padahal baru saja mau saya antar) ucapnya tertawa melengking seraya terbang menghilang.

(Tjirebon, Minggu 11 Juli 2021)

Cerita KitaWhere stories live. Discover now