🌾

8 4 1
                                    

Kedua kakinya melemah, tak mampu lagi untuk melangkah. Sudah lama Rania berjalan-jalan tanpa arah. Di langit, nastabala menghiasi cakrawala. Gadis bercadar itu, terduduk di bangku coklat pinggir jalan Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta.

Jemarinya telah berkumpul di atas lutut, menopang wajah yang terus menunduk. Cadar biru yang ia gunakan sudah basah karena kristal-kristal bening yang terus jatuh dari pelupuk mata. Dadanya terasa berat, sesak. Tak mampu menahan gejolak yang ingin meledak.

Tangis terus mengalir seiring kenangan yang terus mengusik tenang hatinya. Bayangan-bayangan itu berputar seakan slide film yang sedang tayang di bioskop. Ia hanya terdiam, tanpa mampu bersuara.

***

Malam belum larut, waktu masih menunjukkan pukul 20.00 WIB ketika Rania turun dari angkutan umum. Ini kali pertama ia pulang malam. Biasanya sepulang kampus, ia akan langsung ke indekosnya. Akan tetapi, setelah mata kuliah Pak Handoko tadi, Vani mengajaknya menghadiri pengajian yang diisi salah satu ustadz ternama.

Suasana sunyi, mendadak riuh ketika ia berjalan memasuki gang. Rania berusaha tidak menatap kumpulan pemuda yang berada di depannya. Gadis bernetra coklat muda itu menunduk sambil mempercepat langkah dan memegang erat tas birunya, berusaha mengabaikan suara siulan yang terdengar makin kencang.

Rania perlahan menarik napas dan mengucapkan istighfar dalam hati. Gadis yang kini mantap hijrah itu, mengolah emosi agar tidak meledak. Siulan seperti itu selalu membuatnya risi. Ditambah dengan kata-kata yang sedikit menggoda dan suara tawa yang seakan mengejek.

"Assalamualaikum, Ukhty. Makin cantik aja, manis banget. Boleh dong buka topeng ninjanya."

Rania terkejut dan menghentikan langkahnya, ketika seorang pemuda gondrong berambut hitam berdiri di hadapannya.

"Waalaikumsalam," jawabnya pelan lalu berjalan melewati pemuda itu.

"Eh tunggu dulu, Ukhty. Sini dulu aja. Gabung dong ma kita, iya nggak teman-teman. Hahaha ...."

Gadis bercadar itu terkejut ketika pria tersebut berusaha menarik tangannya. Ia dengan cepat menepis dan hendak berlari, tetapi ujung belakang hijabnya ditarik oleh seorang pria lain. Badannya bergetar, ketakutan. Tarikan pada hijab hijaunya semakin kuat, pria berambut cepak dan bermata hitam itu juga hendak menarik cadar yang dikenakannya.

Brukk!

Rania menampik dan mendorong pria itu. Ia juga memukul sosok di belakangnya dengan tas yang dipakai. Melihat ada celah, Rania segera berlari dan menjauh.

Menoleh ke belakang dan yakin sudah tak ada yang mengejarnya, Rania berhenti dan menarik napas. Alhamdulillah, batinnya lega, ketika melihat pagar indekos.

"Assalamualaikum," sapa Rania ramah saat melihat teman-teman kos-kosannya duduk di beranda. Ia tersenyum, mengabaikan desis dan cibiran mereka ke arahnya.

"Cih, dasar pelacur! Tak sudi aku menjawab salamnya," ujar Laura, gadis berkulit putih yang dulu adalah teman satu kamarnya.

"Sekarang 'kan banyak wanita yang berkedok syar'i. Lihat saja dia, kucel dan berkeringat, pasti habis … ya taulah kalian hahahaha …."

"Pastinya! Pulangnya aja malam gini. Cih, mengotori kos-kosan. Besok aku mau pindah indekos aja. Najis di sini."

"Nah benar. Sebaiknya kita semua pindah aja, daripada ketularan hal buruk dari dia."

Rania hanya diam dan tak menjawab perkataan mereka. Gadis itu terus berlalu dan masuk ke kamar. Perlahan-lahan air mata menetes membasahi cadar. Ini bukan kali pertama kata-kata cacian itu membuatnya bersedih hati, sehingga menorehkan luka dalam batinnya. 

Cerita KitaWhere stories live. Discover now