01. Toko Boneka

27 5 2
                                    

Perhatian!
Cerita ini sedang diikutsertakan dalam acara parade uji nyali bersama Pena Baswara Publisher Jakarta.

Happy Reading🍁🍁🍁



Bola menggelinding, berputar tatkala sebuah kaki mungil terus menendang dan mengopernya dari kiri ke kanan. Denian, anak berumur 8 tahun itu berhenti ketika melihat gadis dengan baju kaos panjang dan celana jeans keluar dari pintu rumah. Seketika senyum Denian mengembang. "Kak Melati! Ayo, sini main sama Denian," ajaknya bersemangat.

Gadis bernama melati itu hanya menyunggingkan senyum kaku, merasa serba salah. "Kamu main sendiri dulu, ya. Kakak lagi ada urusan penting di luar. Nanti kalau udah pulang kita main bareng, oke?"

"Kak Melati mah gitu terus ngomongnya. Kak Melati jangan bohongin Denian terus dong."

"Siapa yang bohong? Kakak janji, nanti kita pasti main." Tangannya mengusap puncak kepala Denian, lalu beranjak pergi.

Namun langkahnya tertahan sebab ujung bajunya seakan tersangkut sesuatu. Ternyata Denian yang menariknya. Ditatapnya adik semata wayangnya itu dengan wajah masam. "Denian, kamu jangan bandel deh! Kakak lagi ada urusan pekerjaan."

"Denian mau main sama Kak Melati. Bisa nggak kakak luangin waktu buat Denian sehari aja?" pinta anak itu lirih.

Melati terdiam sesaat. Sejenak tampak berpikir. "Nggak!" jawabnya langsung menepis tangan Denian dari ujung bajunya.

Adiknya bersikukuh tak ingin melepas ujung baju Melati. Denian tahu dirinya akan ditinggal sendirian lagi. "Nggak boleh! Kak Melati nggak boleh pergi!"

"Denian, lepas, ih! Kamu kok ngeyel banget, ya. Kakak udah telat ini! DENIAN!"

Setelah bentakan Melati, suasana langsung senyap. Denian tidak lagi menarik-narik ujung bajunya, pun juga tidak bersuara. Kedua mata Melati seakan-akan beku. Heran karena adiknya mendadak diam. "Denian, mending masuk ke rumah. Tunggu sampai kakak pulang!" tegas Melati dengan suara rendah.

Denian masih diam. Sorot matanya memandangi Melati dengan tajam. Emosi anak seusianya memang mengerikan, labil dan keras kepala. "Kak Melati jahat!" teriak Denian lalu masuk ke rumah setelah membanting pintu.

Helaan napas panjang keluar dari mulut gadis itu. Hanya gelengan kepala yang bisa dia lakukan sebagai ungkapan kesabaran hatinya.

Nanti juga pasti diam sendiri, pikirnya.

Baru selangkah Melati berjalan, suara pecahan kaca menggema di dalam rumah. Membuat Melati mendengus, marah dan kehilangan kesabaran. "DENIAN!"

Saat Melati membuka pintu, pecahan keramik sudah menyapa di lantai. Vas-vas bunga kesayangan ibunya hancur berkeping-keping. Pelakunya ada di depan Melati. Denian mengambil satu persatu vas bunga dan beberapa keramik lain lalu dihempaskan ke lantai. Anak itu menjerit-jerit. "Denian nggak mau tinggal sama kakak. Denian mau ayah sama ibu. Denian benci Kak Melati!"

"Stop, Denian!" Melati merampas vas bunga terakhir yang Denian pegang. "Udah cukup!" tegasnya. Satu tangannya diangkat tinggi, siap memberikan pukulan di bagian mana saja yang dia kehendaki.

Kedua dahi Melati berkerut. Entah mengapa sekarang rasa geram di hati gadis itu luntur ketika melihat Denian menjatuhkan air mata. Tak lama, adiknya meraung sembari terus menyebut ayah dan ibu.

Tanpa ragu Melati membawa Denian dalam pelukannya. Berusaha menenangkan sang adik yang dirundung rasa pilu dan rindu akan kehadiran orang tua. Sebenarnya, Melati pun rindu.

Melati berjongkok supaya tingginya dan Denian sejajar. Dengan lembut dia mengusap pipi adiknya yang basah. "Udah, jangan nangis. Kakak minta maaf. Kak Melati nggak akan ke mana-mana hari ini. Denian boleh minta apa pun yang Denian mau," bujuknya.

***

Cahaya keemasan mewarnai wajah langit sore hari. Demi menyanggupi permintaan Denian, Melati mau tidak mau harus mengeluarkan motor dari bagasi.

Jalan yang mereka lalui mengarah ke pasar. Sudah banyak toko yang dilewati. Melati sendiri tidak tahu tempat apa yang ingin Denian kunjungi.

"Berhenti, Kak! Berhenti!" pekik Denian di belakang Melati.

"Aa?" Melati pun langsung menginjak rem motor secara mendadak, hampir saja kehilangan keseimbangan. Denian langsung turun dari motor dan mendongak ke arah toko, di atas pintunya diberi tulisan, Toko Boneka.

"Toko boneka? Kamu beneran mau ke sini?" Melati terheran-heran melihat tingkah Denian yang begitu bersemangat.

"Ayo masuk, Kak." Seketika tangan Melati ditarik. Hembusan angin menyapa wajah keduanya ketika pintu kaca toko dibuka.

Cahaya lampu begitu temaram. Melati dan Denian berjalan perlahan menyisir pemandangan unik dan rapi itu. Rak-rak penuh dengan berbagai jenis boneka. Rasanya seakan-akan kenangan masa kecil Melati bangkit kembali.

"Denian mau cari boneka apa?"

"Boneka Teddy Bear," jawab anak laki-laki itu. Matanya masih sibuk memandangi sudut demi sudut untuk mencari sosok boneka yang diinginkan.

"Nggak sekalian aja cari boneka Barbie?" goda Melati sambil terkekeh.

Mulut Denian langsung mengerucut kesal. "Denian bukan anak perempuan, Kak!" gerutunya.

Kemudian Melati dan Denian mendekati meja yang mana ada seorang gadis berambut panjang dengan baju selaras rambut duduk dalam diam, pandangannya kosong.

"Permisi," sapa Melati ragu-ragu.

Gadis berambut panjang itu sontak berdiri dengan mata membulat. "Eh, maaf, Mbak. Ternyata saya ketiduran." Gadis itu lalu menundukkan kepala malu.

Melati tersenyum, menganggukkan kepala tanda maklum. Hebat juga ada orang tidur dengan mata terbuka, batinnya.

"Oh ya, mau cari boneka apa, Mbak?"

"Itu ... adik saya mau cari boneka Teddy Bear. Iya, 'kan Denian?" Saat Melati menoleh ke samping kiri, Denian sudah tidak ada.

"DENIAN!"

Tunggu update selanjutnya❤️

Boneka Teddy BearWhere stories live. Discover now