"Trus gimana, gara-gara lo, ngedeketin dia secara normal aja-gue nggak bisa."

Emilia menoleh, "Takdir Bel.. dan mungkin ini ujian buat lo.." masih berani bicara seperti itu pada Bella.

"Sialan lo!" Bella menyikut lengan Emilia.

Sejenak kesal, Bella jadi teringat sesuatu mendengar kata ujian dari mulut Emilia, "Lo juga tuh, kabar buruk lo, udah kesebar juga ke semua kelas."

"Kabar buruk gue?"

"Iya.. nilai ujian akhir semester lo!" ucap Bella mengingatkan. "Lo gak ada niat apa buat perbaikan? Biar lo bisa naik kelas, gitu."

"Ah, lo.. bikin suasana hati gue buruk aja dengar itu," ujar Emilia sambil membenahi kacamatanya yang sedikit jatuh. "Besok gue mau ikut ujian remedy, sekalian ntar pulang sekolah, gue bakal beli buku buat gue pelajari."

"Kalau udah kepepet, baru mau belajar lo. " celetuk Bella. "Besok gue kasih deh, soal ujian kemarin, biar bisa lo pelajari lagi."

"Seriusan?" seru Emilia senang.

Bella mengangguk walau dalam keadaan gondok.

"Haaa lo teman yang paling baik yang pernah gue kenal." peluk Emilia.

"Apaan sih, lepas nggak. Gue masih kesal sama lo!"

0o-dw-o0

Sehabis pulang sekolah, Emilia tidak langsung pulang ke rumah atau sekedar nongkrong bersama Mita dan Bella. Dia memenuhi niatnya ke toko buku Gramedia.

Toko buku itu tak pernah terlihat sepi, tapi Emilia pergi sendirian. Dia tidak mau mengajak Bella ataupun Mita. Jika salah satu ikut, Emilia pasti diledek atau diomelin seperti Ibuk-ibuk karena baru akan membeli buku pelajaran saat mau ujian akhir semester. Teman baik memang seperti itu kan? Tapi Emilia ingin pergi sendirian tanpa mendengar ocehan mereka.

Empat puluh tujuh menit lamanya, Emilia baru berhasil menemukan buku yang dia rasa bisa membuatnya mengerti tentang semua pelajaran IPA. Namun tiba-tiba ada orang yang terjatuh dari sampingnya dan tak sengaja menabrak pundak Emilia. Buku yang ada di tangan Emilia terjatuh karena dia terhuyung.

"Outch," rintih Emilia kesakitan, matanya reflek menatap bukunya yang jatuh.

"Opps!" seru orang itu sadar telah menabrak Emilia. Dia kehilangan keseimbangan saat setelah meraih buku di rak paling atas. "Maaf, are you okay?"

Sebelum menyahut, Emilia memilih memungut bukunya terlebih dulu, lalu berdiri sambil mengusap bahunya yang agak sakit. Setelah itu Emilia mendongak, melongo, dan terdiam menatap orang di depannya tersebut.

Seorang cowok, wajahnya terlihat bersinar, matanya teduh berwarna coklat, hidungnya juga mancung. Sosok itu mengenakan jaket kulit berwarna coklat tua dengan kemeja kaos putih dibaliknya.

Emilia terkesima.

Melihat cara Emilia memandangnya, cowok itu menjentikkan jari tengah dengan jari jempolnya ke depan wajah Emilia.

Tuk!

Emilia tersentak.

"Lo nggak apa-apa?" tutur cowok itu, sekilas mengamati seragam sekolah yang dikenakan Emilia. "Sori ya, tadi gue jatoh pas ngambil buku di atas sana. Raknya, tinggi banget." Jelasnya santai.

"Hah? Oh, iya.." ucap Emilia asal, bingung ingin ngomong apa.

"Pundak lo sakit ya?" tanya cowok itu merasa bersalah sambil melirik bahu Emilia.

"Sakit sih, Eh, nggak, nggak apa-apa kok," ucap Emilia, menyentuh pundaknya. "Santai aja!" Sebisa mungkin Emilia mencoba tersenyum.

"Syukur deh kalau gitu, sekali lagi sori ya.." ucap cowok itu sopan lalu pamit dengan senyuman yang tinggal di hati Emilia.

DELUVIENơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ