part 7

68 6 1
                                    

Gabriella membeku, bukan karena ia membenci Stephanus.
Ia hanya tidak pernah berharap untuk bertemu dengan pria ini lagi. Ia tidak pernah membayangkan kalimat pertama apa yang harus ia ucapkan saat pertama kali bertemu dengan pria ini setelah empat tahun tidak bertemu. Yang jelas, ia juga tidak pernah terpikir akan bertemu lagi setelah empat tahun.

"Ada yang bisa saya bantu?"
Ucap Richard lagi yang membuat Gabriella tersadar dan menggenggam lengan kanannya. Itu bermaksud agar Richard tidak perlu bertanya apapun lagi terhadap Steve.

"Senang dapat bertemu denganmu lagi."
Ucap Gabriella dengan senyum datarnya yang sedingin es.
Lalu ia pun masuk ke sisi kanan mobilnya diikuti dengan Richard yang tahu bahwa ia akan masuk ke sisi pengemudi dan mengantar Gabriella pulang pada malam hari ini.

Mobil mereka pun lenyap begitu saja seketika dan meninggalkan basement yang sepi itu.
Stephanus ingat sekali saat empat tahun yang lalu, ia pernah mengantarkan Gabriella dengan mobil yang sama. Mobil kuno pemberian ayah Gabriella saat wanita itu lulus kuliah.
Saat wanita itu pertama kali menginjakkan kakinya di perusahaan.
Tapi, siapa yang sangka kini tugasnya sudah ada yang menggantikan?

Catelyn salah terhadap perkataannya. Ia dengan mudah mendengar suara Gabriella, tapi Catelyn benar saat ada pria lain yang tengah hadir di tengah mereka.

...

Sepanjang perjalanan, Gabriella hanya diam, ia tidak mengajak Richard bicara dan demikian juga Richard tahu bahwa Gabriella tidak ingin diajak bicara.

Tapi, ia tidak ingin mengantar atasannya ini pulang begitu saja.
Ia pun membawa atasannya ke suatu tempat, Gabriella juga tidak sadar ia dibawa ke tempat itu.

Tiba-tiba saja Gabriella dibangunkan dari lamunannya dan wanita itu bingung.
"Ini di mana?"

"Sudah, turun saja."
Lalu Gabriella pun turun. Tempat ini sangat pas untuk hatinya yang sedang murung.
Ia pun menatap ke arah Richard.
"Terima kasih."
Richard pun mengangguk.

Ia tahu bahwa wanita di hadapannya ini, mengucapkan terima kasih untuk tidak bertanya apapun dan terima kasih untuk menemaninya di saat seperti ini.

Sedangkan wanita tang dipikirkan Richard ini, kembali berpikir.
Padahal ia sudah yakin ia menutup pintu hatinya dengan rapat. Padahal ia cukup yakin bahwa ia sudah melupakan perasaan cinta walaupun masih diliputi dengan bayang-bayang.
Padahal...
Richard pun menaruh jaketnya di pundak Gabriella, di saat itu juga wanita itu terkejut dan menarik jarak di antara mereka.
Barulah sedetik kemudian wanita itu sadar, dan menggelengkan kepala bahwa ia tidak membutuhkan jaket itu.

Gabriella memejamkan matanya, yang benar saja. Barusan ia melakukan hal yang seharusnya wanita lajang akan menerima perlakuan itu dari siapapun.
Mengapa pula ia menolak perlakuan manis dari orang lain?
Mengapa pula ia harus menarik jarak dari pria lain?
Mengapa pula ia harus merasa bahwa hanya Stephanus yang berhak memberikan dan berhak ditunggu olehnya? Memangnya pria itu siapa?
Mengapa pria itu menghabiskan waktu dua belas tahunnya yang berharga? Delapan tahun berpacaran dengan pria itu serta empat tahun yang ia buang untuk memikirkan pria itu secara cuma-cuma.

"Di sini dingin, setidaknya terima jaket ini. Kalau tidak besok kau tidak akan masuk kerja."
Gabriella pun menatap Richard dan menerima jaket pria itu dan memakainya dengan baik.
"Terima kasih."

"Anytime."

...

"Mengapa pula kau tidak berpacaran saja sih dengan Richard itu? Gandeng, peluk atau bahkan cium saja pria itu depan mantan tercintamu. Apapula sapaanmu itu. Kalau kau memang secinta itu dengannya. Kau balikan saja. Kan selesai."

Ocehan Catelyn mulai mendenging di telinga Gabriella.

"Aku tidak ingin menggunakan orang lain untuk menyelesaikan sesuatu. Memangnya kau pikir Richard tidak punya perasaan begitu? Dengan mudahnya aku memperalat dia, lalu besok aku harus mencari asisten baru di mana lagi?"
Gabriella dengan seluruh kesadarannya dan memikirkan orang lain.

"Asal kau tahu saja. Mantanmu itu juga mengangguku terus saat ia di sini. Menanyakan kabarmu lah, sampai ku katakan kau sudah ada pria lain pun ia tetap ingin pergi menemuimu. Bisa-bisanya kau berpacaran dengan orang sinting seperti itu."
Rasa-rasanya ia menyesal tidak menuruti ibunya untuk tidak berpacaran selama sekolah dan kuliah.

"Kami sudah putus. Pernah berpacaran dengan berpacaran berbeda. Aku juga dulu tidak tahu bahwa ia akan menjadi orang seterkenal ini. Aku juga tidak tahu bahwa ia akan lebih mementingkan pekerjaan dan ketenarannya daripada aku."
Saat terakhir mereka berbicara, Gabriella juga ingin sekali, setidaknya dengan bohong, Steve mengatakan ia berani Go-Public. Toh, kalaupun Steve setuju ia tidak akan berbuat apa-apa, ia tidak akan menyetujui hal itu.

Tapi, kenyataan malah menamparnya. Bukan hanya satu pipi, tapi kedua pipinya.
Pria itu malah benar-benar tidak sepeduli itu dengannya dan bahkan membalikkan kenyataan dengan mempertanyakan cinta kepadanya.

Jadwal yang selalu penuh, waktu pun hampir tidak ada untuk sekedar berkabar melalui pesan, bodohnya ia malah meminta pengakuan.

"Aku tidak pernah menyesal mencintainya."
Ucapnya tiba-tia yang membuat Catelyn bingung.

"Apa?"

"Ya, aku tidak pernah menyesal mencintainya, Catelyn. Setidaknya aku pernah mencintainya sepenuh hati. Aku puas dengan memberikan seluruh yang aku punya. Orang yang memberikan seluruhnya dan tulus memberikannya tidak akan pernah menyesal. Aku hanya tidak ingin memperburuk kenangan."
Catelyn pun diam, di saat seperti ini, ia juga tidak tahu harus bagaimana, karena ia sendiri juga sama kacaunya dalam hal percintaan.

"Semua model dan orang-orang yang bekerja di dunia hiburan memang akan selalu sibuk. Salah satunya harus mengalah."
Gabriella juga pahan betul dengan yang dikatakan Catelyn.

Sudah banyak sekali aktor dan aktris putus dengan alasan sibuk dan tidak cocok. Tapi, ini jauh dari yang ia bayangkan pertama kali saat mendukung Steve berkarir.

"Rasa-rasanya aku ingin bolos ke kantor besok. Apa aku bolos saja? Ah, lebih baik aku kunjungan saja. Aku ingin pergi. Atau, aku ambil saja cuti ku ya?"

Catelyn pun terkekeh.

"Kabur saja. Ujung-ujung juga kau tidak akan melakukan apapun. Setidaknya jika mau balikan, kau harus mempersulit dirinya. Aku tidak mau melihatnya dengan mudah mendapatkan dirimu."
Gabriella pun mengangguk dan kembali menatap layar ponselnya.

"Kau juga. Jangan sampai hamil. Aku tidak ingin menjadi bibi duluan. Alexis memang semenggoda itu. Jangan sampai kau juga terlalu mudah dibaca dan digoda."
Catelyn pun menyipitkan matanya.
"Well, kau memang menyebalkannya sama dengan mantanmu itu. Sudahlah, bye."
Gabriella sedikit terkekeh melihat panggilan video itu mati begitu saja.

Dasar, Catelyn selalu saja ingin menasehati tapi diri sendiri lebih parah dan tidak bisa dinasehati.

Ckckck, anak muda zaman sekarang.

...TO BE CONTINUED...
.

240821.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Not) Cheating on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang