part 6

51 9 1
                                    

Catelyn berjalan dengan cepat tapi masih saja dapat diikuti. Sekarang ia risihnya bukan main.
"APA SIH? KAU MAU APA DARI AKU?"
Catelyn sudah yakin sekali ia menghormati Steve sebagai modelnya. Apalagi peran model nomor satu di sini adalah Steve.

Tapi, ia juga tidak bisa diganggu seperti ini. Nanti ia bisa-bisa tidak pulang kalau begini caranya.
Lalu, para staff dan lainnya juga melihat mereka dengan tatapan tak biasa.
Kalau sampai mereka berdua masuk tabloid dan di headline tertulis 'SANG MODEL TERJERAT CINTA PHOTOGRAPHER', Maka yang bisa ia lakukan pertama adalah menulis surat penjelasan untuk Gabriella, lalu kedua adalah bunuh Steve dan yang ketiga adalah bunuh diri.

Yang benar saja? Mantan pacar sahabatnya ini terlalu mengganggu. Apa pria ini tidak sadar semua orang sudah menunggu siapa wanita selanjutnya yang dapat dijadikan bahan gosip?

Steve pun tersenyum, karena akhirnya Catelyn mau berbicara dengannya.
"Aku hanya ingin tahu tentang Gabriella. Itu saja."

"Ha. Kau masih mau tahu tentang dirinya? Tapi, aku rasa dia tidak mau lagi tahu tentang kau. Dia sudah menemukan pria yang pantas. Aku rasa sebentar lagi mereka menikah."
Catelyn pura-pura menghitung lalu menjawab.
"Mungkin dalam hitungan tiga bulan lagi. Karena pria itu adalah pria super duper kaya dan sangat tampan rupawan. Dia tidak seperti seseorang yang kutemui yang hanya bisa menjual tampang dan gosip untuk membangun bisnis baru."

Steve menarik napasnya dan mengeluarkannya perlahan. Ia sudah tahu bahwa akan mendapatkan hujatan. Tapi, ia tahu mulut Catelyn tidak akan lebih parah dari mulut Gabriella. Mereka berdua sangat cocok dalam berteman. Ya, tidak heran sih mereka bisa berteman selama ini.ebih tepatnya bersahabat hingga seperti kakak-adik.

"Aku akan pulang dan menemuinya."
Catelyn melotot. Apa pria ini masih tidak mengerti? Itu semua hanya akan melukai hati Gabriella.
"Kali ini kau tidak akan semudah itu untuk hanya berbicara dengannya. Akan kupastikan seperti itu."

Catelyn pun mengatur kameranya kembali, karena sesi istirahat sudah habis dan saatnya ia kembali memotret para pria ini. Padahal seharusnya ia bisa menikmati surga dengan melihat pria berperut kotak-kotak tapi Steve mengacaukannya.
"Kembalilah ke tempatmu. Aku tidak dibayar untuk berbicara denganmu di sini."

...

Satu bulan kemudian

Gabriella pun memukul-mukul punggungnya sendiri. Pegalnya bukan main. Ia memegang dua proyek yang satu akan launching dan yang satunya lagi sedang dalam proses pembuatan produk dan pencarian model setelahnya.

Model selalu menjadi pokok masalah, orang-orang terkadang memandang suatu produk hanya dengan melihat siapa modelnya. Bukan bagaimana produknya. Setidaknya, itu adalah pancingan awal mereka untuk membeli.

Richard memperhatikan Gabriella dan ia pun memberikan suatu benda yang telah dibelinya tak lama ini.

Lalu ia pun mengambil barang itu dari kotaknya dan meletakkannya secara tiba-tiba di antar leher Gabriella.
"Wh- apa yang kau lakukan?"

Lalu Richard menekan tombol benda itu. Tapi Gabriella lucunya merasa nyaman dengan benda ini.
"Well, apa nama benda ini?"

Benda ini seperti bantal yang menyangkut di leher tapi ia menghasilkan panas dan juga bisa sedikit memijit pelan area pundaknya.
UNBELIEVABLE!

Richard menaikkan alisnya.
"Well, aku melihat benda ini dan teringat denganmu yang sudah tua. Itu untukmu, anggap saja oleh-oleh dari keponakanmu."

Gabriella merasa dipermainkan. HELL, dia belum setua itu!!!

"Baiklah, terima kasih keponakanku tersayang. Besok-besok belikan bibimu ini lebih banyak lagi barang-barang berguna ya. Seperti penghangat kaki atau bahkan pencuci udara ruangan."
Lalu Gabriella pun mulai berkutat lagi dengan laptopnya.

Richard pun hanya terkekeh pelan.
Tapi tak lama kemudian, Gabriella pun memanggilnya.
"Heh! Kau gila? Bantal ini mahal sekali. Aku tidak bisa menerimanya! Kau dapat uang darimana? Kau ini kan hanya asisten biasa. Apalagi kau muda seperti ini. Harusnya kau menyimpan uangmu dengan baik! Kau berikan sesuatu pada keluargamu."

Gabriella pun mulai mencari-cari tombol off pada alat ini. Ia benar-benar berniat untuk mengembalikannya.
"Itu tidak benar-benar memakai uangku, kok. Kau tenang saja. Kalau pakai uangku, mana mungkin aku memberikannya padamu."

"Sungguh begitu?"
Gabriella jadi panik. Karena harga bantal ini bukan main. Sekitar 1/4 gajinya. Walaupun begitu, ia tidak akan membuang cuma-cuma untuk membeli bantal seperti ini.

"Sungguh."
Richard suka bagaimana Gabriella menatapnya sebagai pria biasa. Memang sedikit heran juga Gabriella tidak mengetahui siapa dirinya. Karena paling tidak wajahnya pernah terekspos sesekali.

Gabriella pun mengangguk,
"Baiklah kalau begitu. Kau harus baik-baik menggunakan dan mengatur keuanganmu. Walaupun uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi tanpa uang juga kita tidak bisa bahagia."

"Lalu bagaimana kau sekarang? Apakah sudah bahagia dengan uang yang kau miliki?"
Pertanyaan Richard membuatnya berhenti sebentar.

Lalu ia pun hanya terkekeh kaku, ia tidak menjawab pertanyaan Richard dan kembali melanjutkan pekerjaaannya.

Kebahagiaan itu sulit diartikan.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang sulit untuk dibicarakan oleh Gabriella.
Ia sungguh bersyukur. Ia memiliki keluarga yang menyayanginya, sahabat yang selalu ada, keuangan serta karir yang stabil.
Tapi, bisa dikatakan lagi, standard dari kebahagiaan orang berbeda-beda.
Namun, ia rasa kebahagiaan tidak akan pernah lengkap tanpa orang yang kita cintai berdiri di samping kita.

Kebahagiaan yang ia miliki terasa kurang karena orang yang ia cintai tidak ada dan ia tidak bisa memungkiri bahwa ia tidak bisa mencintai orang lain. Atau lebih tepatnya banyak orang berkata, ia belum menemukan orang tepat selanjutnya untuk berlabuh.

Di umurnya ini, banyak sekali undangan dan panggilan pesta pernikahan maupun ulang tahun anak dari teman sekolahnya berdatangan.
Ia melihat senyum dan tawa bahagia yang terpancarkan di wajah pasangan pengantin. Ia juga ingin seperti itu. Ia juga ingin memiliki kebahagiaan seperti itu. Dengan pria yang ia cintai dan berkeluarga dengan baik.

Ia ingin menikah dan berkeluarga seperti kedua orang tuanya hingga kakek dan nenek.
Ia ingin memiliki kebahagiaan sederhana yang sangat menghangatkan hati.

"Mari kita pulang."
Hari sudah hampir malam. Richard memang pulang setelah Gabriella pulang. Ia memgikuti jam pulang Gabriella. Sebagai asisten yang baik, memang seperti itulah yang ia lakukan, walaupun Gabriella adalah manusia yang pulang paling terlambat dari seluruh karyawan yang ada di perusahaan ini.

Begitu menuju parkiran mereka pun jalan beriringan sambil berbicara ringan, sampai Gabriella melihat ada pria yang berada di samping mobilnya. Lalu ia pun berhenti melangkah, sehingga Richard menyadari itu, ia pun ikut memandangi pria itu.

Siapa pula yang tidak mengenali pria itu.
Stephanus Frederic Du Pont.
Richard pun langsung melihat Gabriella lagi, dan melihat ke arah pria itu lagi.
Seketika ia mengingat Gabriella menyebut-nyebut nama 'Steve' saat mereka di mobil sewaktu bulan kemarin meeting dengan klien untuk kolaborasi.

Apakah Steve yang dimaksud adalah pria ini?
Richard pun berdiri di depan Gabriella.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"
Ucap Richard kepada Steve yang membuat pria yang disapa itu pun menatap Gabriella dengan tajam.

.2 Agustus 2021.

(Not) Cheating on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang