Bab 10

21 1 0
                                    

🌷Hanya sampai Bab 10, ya lanjutannya di KBMApp

Maaf Bu, Dokter Dewi ada perlu mendadak, jadi Ibu diperiksa Dokter pengganti, ya."

Suster bilang saat aku sudah berbaring, selimut sudah terpasang bahkan perutku juga sudah diles krim. Belum sempat aku bicara Dokter itu sudah mendekat dan memasang alat USG.

"Bagus, kondisi bayinya sangat sehat. Pasti papanya keren ni, punya anak selincah ini," ucapnya santai.

Sementara darahku seperti mendidih saat mendengar suara itu dan mengenalinya. Aku hampir bangun saat tangan polosnya mengusap perutku. Seingatku Dokter Dewi tak pernah melakukannya padahal dia dokter perempuan. Aku mendorong tangannya, tapi malah mengambil kesempatan. Dia berhasil meremas tanganku, tapi aku segera menepis.

"Jangan banyak pikiran ya, Bu dan jangan stress kasihan anaknya. Suaminya baik, kan? Aku menunggumu, Fit jika suamimu tak terima," bisiknya sambil pura -pura memeriksa lagi.

Aku malas menjawab, hatiku makin gedeg mendengarnya. Entah kenapa aku merasa dia yang melakukan dan sekarang mengejekku.

Mas Rahman tak kalah kaget saat Dokter geblek itu sudah duduk di depannya. Dia hanya tersenyum miring saat suster menjelaskan  alasan ketidak hadiran Dokter Dewi.

Mas Rahman sempat protes tapi suster bisa memberikan bukti wa jika Dokter Dewi izin lima menit sebelum aku masuk ruang periksa. Bahkan Dokter Hendra katanya juga pengganti dadakan karena yang lainnya sibuk menjadi relawan di kota.

"Pak Rahman,  istrinya dijaga dengan baik, ya agar kehamilannya semakin baik. Apalagi istrinya sangat cantik, jangan sampai dicampakkan terus diambil orang."

"Kenapa Anda bicara begitu? Oh ya ... Anda yang telah mengham ...."

"Mass, stop! ... kita sudah sepakat, kan untuk tidak memperdulikannya. Mas juga sudah janji bahwa bayi ini selamanya akan menjadi anak Mas. Benar kan Nak, kamu sekarang sudah bernyawa tentunya kamu lebih faham. Kamu hanya punya satu ayah yaitu Ayah Rahman. Tidak ada papa apalagi sampai orang lain yang mengaku papa  untuk kepentingannya. Bunda akan menjadi orang terdepan yang membelamu. Kita pulang, Mas."

Aku berdiri menggandeng tangan Mas Rahman, dengan kasar tanganku meraih resep yang dibuatnya.

"Suster lain kali, tolong beritahu kami jika ganti Dokter. Suamiku sudah membayar mahal. Tolong jangan sampai membuat kami marah dan melaporkan rumah sakit ini karena seenaknya sendiri," lanjutku.

Kami keluar, dari dalam aku mendengat suara benda beling jatuh dan teriakan. Pasti dokter itu, siapa lagi kalau bukan dia.

Kami duduk di ruang tunggu pengambilan obat tanpa bicara. Walau begitu, aku merasakan rasa memiliki yang ditunjukkan Mas Rahman. Dia meletakkan tangan kanannya di belakangku sebagai bantal. Dia juga tidak segan mengusap perut jika aku terlihat engap. Sekarang usia kehamilanku sudah berumur dua puluh minggu. Sudah bernyawa dan sedikit emgap.

Sejak kehilangan jejak melihat CCTV rumah sakit, kami sepakat untuk menghentikan pencarian. Apalagi Mas Rahman sudah bisa menerima dengan baik. Dari CCTV memang terlihat sopir yang mengantar, tapi tidak terlihat plat nomor mobil dan wajah lelaki itu. Tapi saya lihat dia berjalan pincang. Entah itu cacat permanen atau hanya karena luka.

"Wah, senengnya melihat kalian berdua," ucap seorang ibu. Dia sedang mengantar amak perempuannya.

Bu Lastri, nama perempuan itu dari tadi menceritakan menantunya yang tidak pernah mau mengantar anaknya periksa. Alasannya membuatku agak kesal, katanya malas menunggu. Lebih baik dia bekwrja dan kasih duit mertuanya saja. Sementara sang anak hanya diam, sepertinya dia menahan mual karena sempat beberapa kali ke toilet.

Karena-Mu Aku BertahanWhere stories live. Discover now