Bab 4

32 1 0
                                    

Sudah makan?” tanya Mas Rahman.

Dia menepuk pundakku lembut, mata kami bertemu. Ada kesedihan juga di sana, aku menatap jam di dinding ternyata sudah menunjukkan angka dua belas. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Entah bagaimana sebenarnya perasaan dia, tapi perhatiannya membuatku semakin merasa bersalah. Habis magrib sudah ada yang mengantarkan makan malam, diapun mengirim pesan agar aku makan terlebih dahulu. Dia masih ada urusan di luar sehingga tidak bisa makan bersama.

Sejak isak aku masih duduk bersimpuh di sajadah yang aku pasang di pojok ruangan. Waktu yang ada kugunakan buat membaca Alqur’an, beristighfar dan berzikir. Aku juga memohon petunjuk atas masalah yang menimpa dan memohon ampunan.

“Bagaimana bisa masuk, Mas?”

Mas Rahman menjelaskan kalau ada  dua kunci di setiap kamarnya. Aku jadi merasa sangat bersalah dengan situasi dan kondisi seperti ini. Selain itu juga merasa jijik dengan diri sendiri, berarti aku wanita yang kotor. Bagaimana dengan pernikahanku? Bukankah wanita yang hamil dilarang menikah?

Aku beristighfar, air mataku kembali mengalir membayangkan dosa-dosa yang kulakukan. Hubunganku dengan Mas Rahman juga bukan hubungan pasangan yang sah.

“Kenapa? Sudah jangan menangis lagi, sudah tidak ada gunanya. Tidak akan bisa merubah keadaan, kan?”

“Bagaimana dengan pernikahan kita, Mas?”

Air mataku kembali mengalir bahkan sampai bergetar aseluruh tubuhku. Akupun masih berharap semua ini adalah mimpi, karena yang terjadi sekarang di luar nalar. Menikah dalam keadaan hamil, tapi tidak tahu siapa yang menghamili.

“Insyaallah pernikahan kita sah, hubungan kita kemaren juga halal. Walaupun ada sebagian ulama yang mengharamkan, tinggal kita meyakini yang mana. Maaf juga jika aku kasar dan menyakiti, kemaren. Harusnya aku melindungimu karena kamu adalah korban. Aku juga akan berusaha mempertahankan pernikahan kita, walau belum yakin,” ucapnya lirih kemudian mendekat dan memeluk erat.

Dia berjanji akan membantu mencari orang yang tidak bertanggungjawab tersebut. Tangannya tidak berhenti mengusap air mata dan bahuku. Aku merasa nyaman sekaligus sedih, apalagi jika berlaku manis seperti ini.

“Sudah jangan menangis lagi, kasihan bayinya. Istirahat ya.”

Tangan kekarnya membantu membuka mukena kemudian menuntunku ke ranjang. Kami berbaring dengan posisi telentang, memandang langit-langit kamar dengan pikiran masing-masing. Mas Rahman bilang akan berusaha mempertahankan pernikahan ini walau tidak yakin. Jika begitu apa aku sanggup menjalaninya?

“Apa kamu termasuk yang meyakini pernikahan kita sah?”

“Secara agama dan Negara pernikahan kita sah, Mas. Di luar ketidaktahuanku tentang janin ini, jadi kamu suamiku. Aku menurut bagaimana kedepannya dan sebaiknya seperti apa?”

Mas Rahman memiringkan tubuhnya menghadapku, dia meraba perutku yang masih rata. Menegaskan sekali lagi jika bayi ini tidak salah. Tapi dia juga butuh waktu untuk bisa menerimanya.

“Sampai kapan kita di sini, Mas?”

“Sampai emosiku mereda, aku tidak mau anak-anak menyaksikan ayahnya memarahi bundanya. Mentalnya pasti akan terganggu, mereka belum bisa memahami juga jika kita jelaskan. Atau memutuskan mereka agar menjauhi kamu? Tidak mungkin jug, kan?”

“Terserah, Mas saja. Aku ikut dan manut.

"Sudah … tidur, ya.”

“Tidak bisa, Mas.”

Mas Rahman menatap kemudian menarik bahuku lembut merengkuhnya dalam dekapan. Aku menempatkan kepalaku di dada bidangnya sehingga membuatku nyaman. Berulang kali terdengar hempasan nafas beratnya, setelah beberapa saat terdengar dengkuran halus dan teratur. Aku melantunkan asmaul husna dalam hati, berulang. Entah berapa kali sampai mata terpejam, sampai aku merasakan perutku sedikit kram. Posisiku masih miring dalam dekapannya, bahkan aku enggan pergi jika tidak karena ingin menghadap-Nya di sepertiga malam terakhir.

Karena-Mu Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang