Bab7

9 1 0
                                    

Di KBMApp sudah Bab 35 ya.

Aku kaget saat bangun Mas Rahman sudah tidak ada di sampingku. Apa dia masih marah? Tapi kenapa ada selimut? Semalam aku kegerahan dan menyingkirkan selimut ini.

Kaki melangkah ke kamar mandi tapi kosong, kemudian ke kamar anak-anak tidak ada juga. Anak -anqk masjh pules semua.

Prang!

Kaget mendengar benda jatuh, aku segera ke dapur. Dengan hati-hati dan takut kunyalakan lampu. Hatiku lega melihat dia di sana.

"Mass, laper?"

"Stop di situ, ada gelas pecah!"

Mas Rahman segera berdiri, mengangkat tubuhku dan mendudukkannya di kursi. Aku sempat menolak bahkan menjerit.

"Kenapa ke sini! Bukannya biasanya kamu langsung shalat?"

"Nyariin Mas."

"Emang aku barang dicari - cari?"

"Iya, barangku yang paling berharga, ucapku malu dan takut dia marah.

Dia berdiri setelah mengambil beberapa pecahan gelas. Aku sengaja makan mie yang masih panas itu. Ngetes dia marah nggak ya? Laper juga sih, semalam kami memang tidak makan banyak, apalagi setelah capek hati dan pikiran karena Dokter Hendra kami langsung tidir.

"Itu pedes banget, kamu jang ...."

"La-per juga," potongku. Aku sudah menyendok lagi dan menyuapkan di mulutku. Memang pedas, tapi aku sudah biasa, tapi kenapa dia makan pedas bukannya biasanya nggak suka?

"Aku lagi pengen pedas," ucapnya seperti tahu isi hatiku.

Aku menyudahi makan, tapi dia malah memberikan suapannya padaku. Saat aku minta maaf dia hanya mengangguk. Kami diam dalam pikiran masing-masing sampi makanan habis. Shalat tahajud bareng, menunggu subuh sambil aling menyimak bacaan kemudian subuh.

Usai subuh dia membalikkan badan menatap dengan wajah yang sulit kuartikan. Aku kembali meminta maaf, atas apa yang terjadi. Dia malah menarikku dalam dekapan saat aku mencium punggung tangannya.

Di luar masih sangat gelap, gerimis juga masih membasahi bumi. Membuat sebagian manusia malas beranjka dari pembaringan. 

Aku merasakan pergerakan tangan Mas Rahman menyusuri tempat terjaga. Nafasnya juga mulai tidak biasa, matanya  menatap seilah meminta persetujuan. Aku tak bisa menolak, bahkan sudah tidak bisa mengobteol diri juga. Mukena sudah terbuka semua, entah sejak kapan. Aku tidak menyadari karena sibuk dengan pikiran yang dibuat melayang penuh keraguan.

"Maafkan Ayah, Nak," ucapnya lembut sambil mengusap perut. Sebenarnya agak kram tapi aku tidak memberitahu takut jika dia khawatir. Aku tidak mau menghentikan kegiatannya yang sangat dinikmati. Akupun sama tidak bisa memungkiri kenikmatan yang diberikan. Apalagi dia melakukannua dengan lembut tanpa kemarahan seperti yang pertama.

"Kamu tiduran saja dulu, nggak usah membuat sarapan. Biar aku pesan saja," ucapnya sambil menyelimuti tubuhku sampai dada. Ya Allah, aku tidak bermimpi kan? Menjelang tidur dia marah padaku tapi sekarang dia memperlakukan aku sangat baik dan manis. Bahkan penuh kelembutan dan selalu memastikanaku baik-baik saja.

Air mata menetes di sudut mataku, tapi bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan.

"Bundaaa!" seru Salwa diikuti Faqih yang twrsenyum di belakangnya.

Aku kaget, rupanya aku sempat terpejam beberap saat. Lebih kavet lagi saat melihat mereka audah rapi dengan pakaian seragamnya.

"Kata ayah Bunda kurang sehat, Salwa tidak mau mengganggu tapi harus pamit ke sekolah," ucapnya masih berdiri di dekat ranjang. Aku belum berani bangun karena seingatku, aku hanya memakai selimut. Tapi saat kuraba ternyata sudah berpakaian. Aku  nggan sempaet mwnwrka karena Salwa sudah memeluk dan menciumku, begitu juga dengan Faqih. Setelah itu dia pamit.

"Sebentar kalian sudah sarapan?"

"Sudah, Bund. Aku disuapi ayah. Sekarang ayah lagi nunggu di depan."

Aku segera Mengangguk kemudian mwngizinkan mereka beramgkat. Aku bangun dengan badan sedikit pegal, tapi perut sudah biasa.

"Kamu baik-baik saja, kan Nak? Siapapun papamu tapi ayahmu tetap ayah Rahman. Bagaimanapun kamu sampai busa ada di sini? Bunda akan menyayangimu karena kamu tidak salah.

"Mandi dulu atau mau sarapan dulu," tanya Mas Rahman mengagetkanku. Dia sudah berdiri di depanku, dwngan wajah segar dan berseri.

"Bukannya nganter anak-anak, Mas?"

"Mereka bareng  Dino dan ada ibu tadi yang sudah kangen mau nganter  ke sekolah."

Aku protes sama Mas Rahman, malu ada ibu aku masih tidur. Dia malah tersenyum merasa tak berdosa.

"Ibu juga pernah hamil, jadi tahu dan memaklumi. Apalagi lihat aku yang baru keramas."

Aku jadi malu, kata keramas mengingatkan perlakuan manisnya tadi pagi.

"Makasih, Mas."

"Untuk?"

"Bajunya dan menjadikan aku istri yang sesungguhnya."

"Masak iya aku membiarkanmu tak berpakaian saat anak-anak mau masuk.  Satu lagi kamu memang istriku, tidak akan aku lepaskan apalagi sama Dokter sok ganteng itu."

Aku merasa tersanjung sekaligus aneh. Karena dia menyebut dokter dengan muka datarnya. Saat aku mendekat dia mengibaskan tangannya dan memintaku mandi. Aku diam duduk dengan muka cemberut dan bibir dilipat. Mata sudah memanas ingin mengeluarkan isinya.

"Maaf, dasar bumil ... sensi," ucapnya sambil menggendongku ke kamar mandi. Sudah bisa dipastikan air mata  tidak bisa dibendung.

Aku tahu kamu belum sepenuhnya ikhlas, tapi bisa kurasakan kamu sangat perhatian. Walau aku ragu bisa ada cinta atau tidak.

"Makasih perhatiannya, walau belum ada cinta tapi aku sudah bahagia dengan semua ini, Mas, ucapku saat dia  menurunkan aku.

"Dasar nggak peka."

"Maksudnya?"

"Kamu pikir kejadian tadi bisa terjadi  tanpa cinta. Jangan-jangan kamu yang nggak cinta sama aku karena sudah lihat dokter aneh itu," ucapnya sambil jalan keluar kemudian menatap pintu dengan keras.

Dia aneh lagi? Apa benar cemburu? Dia sudah mencintaiku? Masyaallah aku baru ingat dengan perkataannya di malam pertama. Alhamdulillah, Mas Rahman sudah mencintaiku. Terima kasih Ya Allah. Pantesan dia jadi jeles dengan Dokter Hendra.

***

Malam itu Mbak Fitri diantar sopir taxi online, kemudian dia pergi begitu saja dengan meninggalkan uang, tas  dan nomor telpon orang tua Mbak."

"Astaghfirullah, serapi itu dia?"

"Terus kenapa istri saya tidak diperiksa dalam padahal ada sakit di kemaluannya?" tanya Mas Rahman penasaran.

Setelah semalam penuh dengan drama dan emosi, pagi ini kami ke rumah sakit. Dokter Hendra memang tercatat praktek di sana tapi kami tidak akan menemuinya untuk saat ini. Kami bertanya tentang pertama kali aku di bawa ke sini. Mas Rahman kembali menyuap perawat tang jaga saat malam aku di bawa ke sini.

"Dari surat rujukan hanya tertulis Mbak Fitri over dosis obat tidur dan terjatuh. Ada luka di sekitar kemaluan bukan luka dalam. Mbak Fitri sampai dua hari tidur di sini baru bangun."

Aku kembali beristighfar, bagaimana bisa aku over dosis obat. Meminumnya saja nggak pernah. Mas Rahman sampai hampir percaya karena suster bilang menemukan sisa obat tidur di tas.

"Aku bersumpah tidak akan memaafkan orang itu, sudah membuatku hamil, memfitnah bahkan membohongi orang tuaku!" seruku. Kami sudah di dalam mobil lagi.

"Aku mau naik gunung saat itu, mana mungkin bawa ibat tidur? " lanjutku

"Dia sangat profesional dan kaya, tidak mungkin orang sembarangan," ucap Maa Rahman. Dia mengusap mukanya dengan kasar. Kalau sampai benar Dokter itu, aku akan membuatnya membuatnya membusuk di penjara.!"

"Aku juga tidak akan rela mempertemukan dengan anaknya!" kataku tak kalah emosi.

Kini penyelidikan kami.tinggal melihat CCTV rumah sakit. Tapi tadi belum diizinkan karena masih pada sibuk. Semoga ada jalan keluar Ya Allah.

Karena-Mu Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang