Bab 8

10 1 0
                                    

Pov Author

Di dalam ruangan, Dokter Hendra menumpahkan kemarahannya. Tangannya meninju cermin di kamar mandi hingga berantakan.

"Aku harus bisa mendapatkanmu, demi  mama. Dia sudah muncul Mam, bertahun -tahun aku menunggu dan mencari tidak ketemu. Menanti menantu yang mama inginkan, bahkan sekarang dia mengandung cucu mama."

Prang!

Tangan yang sudah memar itu, kembali meninju kaca yang sudah retak sehingga hancur berantakan. Satpam yang kebetulan lewat sempat menghentikan langkahnya Tapi saat mendengar sumber suara dari ruangan Dokter Hendra, lelaki berbadan tegap itu memilih berjalan cepat. Dia tidak mau jika sampai berurusan dengan Dokter satu itu.

"Maaf jika aku memberimu cucu dengan cara yang salah, Mam. Aku khilaf, tidak bisa mengendalikan diri melihat dia yang selama ini kunantikan terbaring lemah tak berdaya di depanku. Apalagi tidak ada siapapun saat itu, hujan semalaman tidak berhenti. Bahkan bunyi petir yang baersahutan tidak bisa menghentikan kekhilafanku, Ma. Aku malah berpikir, aman karena petir yang tiada henti membuatku tidak terganggu oleh siapapun. Tapi Tuhan menghukumku, apa yang kutanam menjadikan cucumu ada di dunia ini."

Lelaki matang itu terus berteriak sambil berlutut dan menarik meremas kepalanya kasar.

Tok  tok  tok

Suara ketukan pintu menghentikan aksinya. Dia berjalan ke kamar mandi, membasuh mukanya dengan kasar. Bahkan dia tidak memperdhlikan luka memar di tangannya.

"Maaf Dok ... ada yang bisa saya bantu?"

Seorang suster perempuan cantik menaqarkan bantuan. Hanya dia orang yang berani mendekat padanya.

Mata Suster Mita menatap punggung tangan yang memar. Dengan cekatan dia mengambil air hangat dan kain. Tanpa bicara lagi dia menarik tangan bosnya dan swgwra mengompres.

"Kepana bisa seperti ini? Kalau mau marah, aku rela dijafikan sasarn Dok. Kenapa harus ke kaca. Sayang tangan halus dan kekarmu ini," omelnya sambil terus mengompres dan meneliti jika ada luka lainnya.

"Kamu itu nggak bosen ya, nawarin diri," ucapnya sinis.

"Tapi cuma aku yang peduli, kan? Gadis impianmu itu memang cuma khayalan ...."

"Tidak, dia nyata, ad bahkan sudah sangat dekat."

"Dasar mabok."

"Aku waras, baru saja dia meninggalkan rumah sakit ini."

Mita kaget, tapi dia zegera menetralkan dirinya. Dia ingat apa yang dikatakan papanya. Hendra adalah miliknya, dia harus bisa mengambil hatinya.

"Aku yang selalu di dekatmu, Mas ...."

Mita berkata sangat lembut, tangannya sengaja mengusap lembut pinggiran memar. Tujuannya jelas bukan meredakan luka, tapi membuat Dokter kesayangannya tergoda.

"Keluar! Aku muak denganmu ... nih buat apa yang telah kamu lakukan barusan!" ucapnya sambil melempar lembaran uang seratus ribuan, yang diambil dengan cepat dari dompetnya.

"Apa ...."

"Nggak usah sok, ini yang keluargamu inginkan. Jangan campuri urusanku atau aku pindahkan ke rumah  sakit lain!"

"Nggak Dok, Ok aku akan keluar, makasih uanganya."

"Panggul OB buat bersihkan kaca!" serunya ketika Mita sampai pintu. Perempuan itu membalikkan badan sambil mengangguk.

***
Begitu membuka pintu, aku langsung duduk di sofa meluruskan kaki dan mengusap perut yangvsedikit kram. Mas Farhan duduk di depanku, menatap sebentar kemudian merebahkan dirinya di sofa panjang.

"Pindah.ke kamar, Mas ... aku nuatkan coklat hangat," ucapku sambil mengusap tangannya. Bukannya menjawab, Mas Farhan menepis tanganku. Aku yang membungkum di depannya, terpaku sejenak kemudian berdiri bertumpu lutut di dekat kepalanya.

"Kenapa Mas?"

"Kamu mimir nggak sih? Dari tanggal di klinik klinik dan rumah sakit selisihnya 3 hari. Berarti selama itu kamu di mana dan diapain saja? Masak iya tidak berasa apa-apa? Nggak mungkin kamu didiamkan saja."

"Kenyataannya seperti.itu, Mas. Aku bersumpah tidak pernah merasakan hal aneh kecuali memar di sekitar kemaluan yang katanya kena batang pohon saat jatuh."

"Bu****t, sekali saja kita melakukannya kamu merasakan pesakitan padahal sudah yang kedua atau memang sudah kesekian kalinya ...."

"Astaghfirullah," sahutku. Tubuhku terduduk ke lantai. Aku tidak tahu harua bicara apalagi. Mau mengelak nyatanya aku hamil, jika mengiyakan kenyataannya memang  begitu. 'Ya Allah apa yang diberikannya padaku sehingga tidak sadar selama itu?'

"Sudah mandi sana, Mas mau ke bengkel!"

Dia bangun kemudian berdiri dan melewatiku begitu saja. Aku masih terdiam di depan sofa, meletakkan kepalaku di sofa empuk itu untuk meredakan pusing. 

"Anak-anak tidak aku jemput kalau kamu seperti itu," ucapnya lagi. Aku rasa Mas Rahman belum beranjak jauh dari sofa. Dia masih memperhatikan tapi juga membiarkan aku.

Aku tidak bergeming, emosiku tak terbendung. Tapi nggak tahu ke siapa harus marah? Lelaki yang menghamiliku? Siapa dia?

Tanpa kusadari tanganku berulangkali menonjok kaki sofa. Cekalan tangan Mas Rahmanlah yang membuatku berhenti.

"Diam! Jangan biarkan emosi menguasai kamu, kasihan bayinya."

"Bagaimana nggak emosi Mas, kamu nggak percaya padaku. Sedangkan aku tidak tahu apa-apa. Wajar  sih, Mas jika kamu marah dan nggak percaya karena kenyataanya aku hamil sebelum kamu menyentuhku. Aku wanita kotor dan menji-jikkan," ucapanku sudah nggak beraturan karena penuh emoai dan deraian air mata.

Aku tergugu, tangan Mas Rahman berhasil aku tepis. Aku membenamkan kepala di sofa dan bertumpu pada tangan kiri. Tangisku makin pecah, tidak bisa kutahan lagi. Emosiku memuncak dan membuncah. Aku menangis sampai lelah dan tertidur.

"Astagfirullah," ucapku sambil merentangkan tangan. Aku kaget saat tangan kananku menyenggol benda. Ternyata wajah Mas rahman, aku tidur di ranjang. Tangannya melingkar di perut, bukankah aku duduk di ruang tamu tadi?

Perlaham aku beringsut menghadapkan wajah ke wajahnya. Tanganku memberanikan diri mengusap rahang tegas itu.

"Aku bingun dengan sikapmu, Mas. Kamu marah, emosi tapi juga perhatian dan sayang. Pasti kamu yang membawaku ke sini. Aku tidak merasakan apapun saat kamu mengangkatku. Apa seperti juga lelaki itu memperlakukanku?"

Wajah ganteng itu mendekat kemudian mengecup pucuk kepalaku.

"Bilang aja kalau dah cinta, jangan nyuri -nyuri gitu,"

"Iya aku memang sudah jatuh cinta sama suamiku. Nggak tahulah dengan dia, pasti benci banget sama istrinya yang ha...."

Aku tidak bisa meneruskan kalimatku, mulutku sudah dibungkam dengan miliknya yang sudah menjadi candu bagiku. Semua jadi berubah, emosi itu lenyap berubah menjadi kenikmatan. Tapi tidak berlangsung lama, karena suara dering telpon Mas Rahman yang tak berhenti.

👉Hanya sampai Bab 10 ya, sisanya di KBMApp.

Karena-Mu Aku BertahanWhere stories live. Discover now