Lembar Tiga Belas

87 26 0
                                    

Pagi ini, Sejeong mengurus beberapa keperluan Jihoon. Seperti mengelap tubuh anak itu dengan air hangat menggunakan handuk, memakaikan Jihoon pakaian, dan menyuapi Jihoon.

Berbagai celotehan Jihoon utarakan pada Sejeong, yang tak bosannya gadis itu respon dengan baik pula.

Perihal ajakan Jimin untuk menemui Ayahnya, sebenarnya Sejeong masih ragu. Apalagi Jimin tidak memberi tau dimana keberadaan Ayahnya sekarang.

"Ibu, Jihoon ingin tanya. Boleh?"

"Tentu, ingin tanya apa memangnya?"

"Kenapa Ibu cantik sekali?"

"Woah, Jihoon sudah pandai menggoda, ya?"

"Ayah yang ajari." Kata bocah itu sembari menunjuk Jimin yang sedang duduk di sofa kamar itu.

Sejeong menoleh ke arah Jimin.

"Apa? Kalian kenapa?"

"Tidak ada, Ibu tanya siapa yang ajari Jihoon menggoda. Jihoon jawab kalau Ayah yang ajari Jihoon tadi."

Sejeong menatap Jimin tajam yang seakan mengatakan Kau ingin mati?!

Jimin hanya bisa tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.

"Jihoon, satu suap lagi. Setelah itu, Jihoon ingin berkeliling ke taman?"

"Dengan Ibu?"

"Tentu."

Jihoon segera
menerima suapan terakhir lalu meminum segelas air hangat. Setelahnya, Sejeong membantu Jihoon untuk mendudukkannya di kursi roda.

"Kami akan pergi berjalan sebentar, permisi."

"Eh, Aku ingin ikut!"

Jimin menyusul mereka berdua keliling taman pagi itu. Menghirup udara segar di pagi hari memang hal yang cocok sembari berjemur.

Jihoon masih di dudukkan di kursi roda. Sejeong memegang gagang khusus untuk mendorong kursi, dan Jimin yang berdiri disampingnya.

Kalau orang lain tidak tau, mereka pasti akan mengira jika Jimin, Sejeong dan Jihoon adalah keluarga. .

"Ibu, apa ada tempat yang sama cantiknya seperti di Seoul?"

"Kenapa tanya begitu?"

"Kata pastor, ada tempat yang sangat cantik melebihi Seoul atau manapun itu."

"Oh ya? Sepertinya ada. Dulu, saat setiap minggu pergi ke gereja, pastor menceritakan banyak hal pada kami. Dia bercerita tentang tempat yang sangat indah dan cantik, melebihi dari apapun.---" Sejeong menghentikan kata-katanya. Jimin melirik Sejeong sembari tersenyum tipis.

"---Pastor di Gereja pernah bilang, kalau semua umat manusia nantinya akan pergi ke tempat yang bernama alam baka. Tempat dimana semua manusia akan ditempatkan ditempat yang sesuai dengan mereka."

"Tempat yang sesuai?"

"Ya, akan ada tempat yang bernama surga dan neraka. Kalau orang-orang yang baik akan masuk ke surga, sedangkan yang jahat, mereka akan ditempatkan di neraka."

"Lalu, surga dan neraka itu tempat yang seperti apa, Bu?"

"Surga adalah tempat yang indah, melebihi apapun. Sedangkan neraka, tempat itu dipenuhi oleh api panas yang membara."

"Kalau begitu, apa Jihoon bisa pergi ke surga?"

"Kenapa harus ke surga? Didunia ini juga banyak tempat-tempat yang sangat cantik dan indah. Kita bisa pergi ke sana," ucap Jimin.

"Hm, itu benar. Surga itu adalah tempat yang sangat jauh. Bahkan siapapun tidak bisa datang ke sana bahkan dengan pesawat terbang."

"Tapi kenapa Ibu tau kalau surga itu indah? 'Kan Ibu belum lihat."

"Eh? Iya juga, ya. Tapi menurut cerita orang-orang sih begitu,"

Jimin menimpali perkataan Sejeong dengan tertawa.

"Kalau begitu kita kembali masuk, ya? Sudah waktunya Jihoon istirahat, kan?"

"Iya, Bu."

Sejeong kembali mendorong kursi roda kembali menuju kamar Jihoon dengan disusul Jimin di belakangnya. Ditengah perjalanan menuju kamar Jihoon, Sejeong melihat bocah berusia sebelas tahun itu menjatuhkan kepalanya perlahan ke samping sembari menutup mata.

Sejeong lantas menghentikan langkahnya dan langsung berjongkok di hadapan Jihoon. Jimin yang tadinya melihat-lihat kiri-kanan kini menghampiri Sejeong.

"Ada apa?"

"Jihoon, hey kenapa tidur disini hm? Ayo bangun," ucap Sejeong dengan raut khawatir.

"Jihoon, bangun sayang. Hey, Park Jihoon!"

Tangan Jimin terulur untuk memeriksa napas dari hidung Jihoon dan denyut nadinya.

Jihoon... anak itu tidak bernapas dan denyut nadinya berhenti.

Dengan keadaan panik, Jimin memdorong kursi roda Jihoon dengan cepat menuju kamar rawat inap, sementara Sejeong memanggil dokter yang menangani Jihoon.

Kini kedua manusia berbeda gender itu tengah menunggu dokter yang sedang memeriksa keadaan Jihoon. Dengan harap penuh, anak laki-laki itu baik-baik saja.

Dua puluh menit berlalu, dokter akhirnya keluar dari ruangan. "Kami sangat meminta maaf karena telah mengatakan ini. Dengan berat hati, Saya mengatakan jika Park Jihoon telah meninggal dunia akibat keracunan makanan."

Kaki Sejeong melemas seketika. Pikirannya bercabang kini. Dengan langkah cepat, Sejeong berlari masuk ke dalam kamar.

Wajah Jihoon yang pucat dengan mata yang tertutup damai. Sejeong menangis sembari mengusap lembut wajah anak laki-laki itu.

Jimin pun sama hal nya, ia menyusul Sejeong yang masuk ke kamar Jihoon. Pertahanan pria itu runtuh seketika. Ruangan yang tadi pagi dipenuhi canda tawa, kini berubah menjadi duka.

**********

Lima hari setelah kepergian Jihoon, Sejeong kembali ke Jeju untuk menenangkan diri. Sedangkan Jimin, pria itu sibuk mencari pelaku yang mencampurkan racun ke makanan Jihoon.

Tentang Ayah Sejeong, pria tua itu sedang mendekap di penjara saat ini. Dengan kasus pembunuhan istri dan anaknya, melakukan pemalsuan uang selama dua tahun terakhir, dan kasus pemerkosaan serta penyiksaan wanita yang ia sewa sebagai jalang, membuatnya dipenjara selama dua puluh delapan tahun lamanya.

Kini Sejeong sedang merenung. Dirinya sedang tidak sehat semenjak pulang dari Seoul. Kata-kata Jihoon yang ingin pergi ke surga untuk melihat hal indah disana adalah pertanda jika anak otu akan benar-benar pergi. Bukan untuk sementara, namun selamanya.

Dering telpon memecah keheningan. Sejeong meraih ponselnya dan mengangkat telpon. "Ada apa, Tuan Park?"

"Sejeong-ssi, bisa Aku ke tempatmu sekarang? Ada hal yang ingin Aku beri tau dan jelaskan."

"Oh, tentu saja bisa."

"Baiklah, tunggu Aku. Tapi saat ini, jangan buka pintu untuk siapapun, kecuali Namjoon. Mengerti?"

"Ya, Aku mengerti."

Sejeong sedikit bingung tentang perkataan Jimin diakhir. Jangan bukakan pintu untuk siapapun. 

Apa sebenarnya yang terjadi?




Hai, gimana? Aku harap tidak mengecewakan, ya! Terima kasih juga atas dukungan kalian dengan cara vote cerita ini.🤗💜




-Ryukanie



Love Under the Rain | END ✔Where stories live. Discover now