Chapter 20 - Demam

36 23 1
                                    

Keesokan harinya, tepat pada pukul enam pagi, jam weker Mitha di atas nakas sebelah tempat tidur, berbunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya, tepat pada pukul enam pagi, jam weker Mitha di atas nakas sebelah tempat tidur, berbunyi.

Pintu kamarnya terdengar dibuka, dikuti suara langkah kaki yang masuk. Berikutnya, silaunya matahari mulai memenuhi kamar Mitha ketika tirai jendela kamarnya telah disingkapkan.

"Mitha, udah pagi, Sayang. Mau tidur sampai jam berapa?"

"Ah ...." Mitha menguap, kesadarannya belum sepenuhnya memenuhi dirinya.

"Hari ini hari Minggu, bukan? Duh ... harusnya enggak usah hidupin alarm," sesal Mitha.

"Enggak harus bangun siang, kan, meski hari Minggu? Nanti gimana kamu terbiasa bangun pagi coba, kalau enggak membiasakan diri bangun pagi."

Mitha mendengkus. Dikuceknya matanya yang belekan untuk melihat dengan jelas.

"Mama mau pergi ke pasar. Kamu jaga rumah, ya! Ah, iya, mama udah siapin sarapan, kalau mau makan, ajak-ajak Angga juga, ya!"

"Enggak perlu dijaga Ma, rumahnya enggak akan hilang."

"Duh, belajar sama siapa sih, ucapannya?"

"Angga, hahaha."

"Ah, yang benar?"

"Tapi ngomong-ngomong, sarapannya apa, Ma?" alih Mitha ingin tahu.

"Mama buat nasi goreng. Udah sana, mandi dulu. Nanti baru bangunin Angga di kamarnya, ya!"

"Lho, memangnya Angga belum bangun, Ma?"

"Tadi mama udah ngetuk pintu kamarnya berkali-kali, tapi enggak ada respons. Mungkin belum bangun."

"Oh, oke, nanti aku bangunin kalau masih belum bangun."

"Ya udah, mama pergi dulu, ya!" Thalia lalu mencium kening Mitha dan pergi.

Mitha pun bergegas ke kamar mandi untuk mandi.

***

Sesuai permintaan mamanya, Mitha mendatangi Rangga ke kamarnya. Ia masuk ke dalam kamar lelaki itu saat telah mengetuk pintu beberapa kali.

"Ngga ... gue masuk, ya!" izin Mitha.

"Hemm ...," gumam Rangga pelan.

Seperti halnya Thalia, Mitha membuka tirai jendela kamar agar sinar matahari bebas masuk.

Rangga tampak tidak menyadari kedatangan Mitha. Ia masih terlelap di balik selimutnya yang tebal.

"Angga!" panggil Mitha sambil duduk di sisi ranjang.

Melihat Rangga yang tidak merespons, ia pun berniat mengguncang-guncang badan lelaki itu agar bangun.

Namun, ia mendadak tersadar perbedaan suhu antara dirinya dan Rangga ketika melakukan itu. Lengan lelaki itu terasa panas.

Mitha segera menempelkan telapak tangannya pada dahi Rangga, lalu lehernya.

"Panas," kata Mitha.

"Angga!" panggil Mitha sekali lagi.

Tidak ada jawaban. Rangga hanya terdengar bergumam tak jelas.

Mitha sudah lapar dan ingin segera makan. Namun, karena ada kewajiban membangunkan Rangga, ia harus menundanya.

Mitha mencoba menarik lengan Rangga untuk membuat lelaki itu beranjak dari tempat tidurnya.

Bagaimana pun, ia harus membangunkan Rangga dan meminta laki-laki itu untuk minum obat.

"Bangun, Ngga!" Mitha menarik sekuat tenaga.

Namun, hanya dalam sesaat, ia langsung dijatuhkan ke tempat tidur oleh Rangga. Lelaki itu langsung memposisikan dirinya di atas Mitha dan melumat bibir merah gadis itu.

Mitha terbelalak. Napasnya tertahan. Rangga terus menciumnya tanpa memberinya jeda untuk bernapas bebas. Bahkan lelaki itu mengigit bibir bagian bawahnya agar ia membuka mulutnya.

Mitha mencoba mendorong badan Rangga saat lelaki itu semakin mendekat hingga ia merasakan dadanya yang bersentuhan dengan dada bidang Rangga.

"Ng ... Nggaa ... stop!" Mitha mencoba memalingkan wajahnya dan bersuara saat Rangga mengambil jeda bernapas.

Matanya mulai basah.

Ia kalah kuat untuk mendorong Rangga.

To be continue ....

[SUDAH TERBIT] Akhir PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang