Naruto berdiri di samping Uchiha sulung.

"Ki—kita ada yang me-nerror!" gumam Uchiha sulung dengan ekspresi wajah tegang. Ia mengalihkan perhatiannya pada wajah Naruto.

Te—terror?

Naruto mengedipkan matanya—tiga kali—ketika matanya pun memandang mata onyx Uchiha sulung. "Ki—Ki—Kita ada yang me-nerror?!" Naruto membeo, mengulang perkataan Uchiha sulung.

Kedip.

Naruto dan Itachi saling pandang.

Kita ada yang me-nerror?

Naruto dan Itachi saling pandang.

Kedip.

Naruto dan Itachi saling pandang.

Kita ada yang me-nerror?

Naruto dan Itachi saling pandang.

Kita ada yang me—

"KYAAAAAAAAAAAA!" teriak Naruto dan Itachi secara bersamaan, mulai ababil alias ABG labil plus out of character. Tanpa pikir panjang mereka langsung berpelukan kayak teletubies.

Oh man. Oh God. Oh yeah. Ini benar-benar hebat! Siapa yang mengira jika markas manusia pembokat seperti mereka akan ada yang me-nerror? Itachi dan Naruto mulai berputar-putar, tertawa sambil bergenggaman tangan—sinting. Hahaha.. Hahaha.. mereka tertawa kesenangan—merasa hebat sendiri karena di jaman seperti ini masih di-terror, tidak menyadari jika foto-foto tersebut bukan hanya di markas mereka, tetapi di setiap gedung yang dihuni oleh asrama-asrama lainnya juga.

Naruto melepaskan genggaman tangannya pada Itachi. Ia berlari ke arah sahabatnya yang masih terbaring di atas lantai beralas kain sarung. "Nagato, Nagato bangun!" seru Naruto sembari mengguncang-guncangkan bahu Nagato—semangat. "Kau tahu? Kau tahu? Kau tahu? Kita ada yang me-nerror!" katanya—tidak penting.

"Ughhhh..," gumam Nagato ketika matanya masih terpejam, dan posisi tidur miring. Ia memegang perutnya—mulas.

Naruto berhenti mengguncang-guncangkan tubuh Nagato. "Kau kenapa Nagato?" tanyanya, khawatir, langsung lupa dengan foto tidak jelas yang tersimpan di sepanjang dindingnya.

Itachi menghela napas—berat, nan pengertian. "Aku tahu terror ini memuakan dan membuat sakit perut..," gumam Uchiha sulung pada Nagato, serius. "Narsisme, terlalu percaya dirisme, brutalisme, dan arrogant—

"CUKUP, ITACHI UCHIHA!" seru Nagato—lengkap banget manggil nama Itachi, menghentikan perkataan Itachi yang semakin membuat sakit perut. "Aku mohon cukup..," gumam Nagato sambil merintih tidak jelas. "Ooookkkkkk.. A—aku benar-benar ti—tidak tahan..,"seru Nagato, ketika dia merasakan perutnya semakin sakit, dan membuang 'sesuatu' yang sudah ada di ujung tanduk. Ia berguling-guling di atas lantai kesakitan.

Naruto mengalihkan perhatiannya pada Itachi. "Uchiha Itachi, bagaimana ini?" tanya Naruto pada ketua asrama pembokatnya. "Na—Nagato ingin buang air besar..," lanjutnya, dengan ekspresi sedih. "Dia sepertinya terkena penyakit disentri..," kata Naruto, sambil mengelus pundak Nagato, menenangkan sahabatnya.

Itachi mengangkat sebelah alisnya.

Haduuuh, gimana nggak sakit perut? Kerjaan mereka cuman makan ramen saja. Itachi menerawang ke depan. Ia mengingat kasus beberapa hari lalu. Kasus dimana dia telah membawa makanan untuk dua anak asuhannya. Ha—ah, kasus yang benar-benar nista dan menyentuh sanubarinya yang paling terdalam, hingga Itachi pun ingin melempar meja rasanya.

Flashback.

"HUWEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!" Naruto mewek sambil duduk di atas lantai, mirip kayak bocah lima tahun ketika meminta balon kepada ibunya. "RAMEEEENNNN!" teriak Naruto—berlebihan. "Ramennnnnnnn!" lanjutnya, ketika Uchiha sulung sibuk memijat-mijat pelipisnya—sakit kepala dengan tangisan dan teriakan Naruto.

Crimson Ties Behind the Scene [on going]Where stories live. Discover now