Bagian Dua: Terjebak

20 6 7
                                    


Kadang aku berpikir apakah aku memang orang terpilih untuk merasakan hal seperti ini? Apakah aku akan naik level karena sedih tidak penting begini?

Kalau kemarin aku habis-habisan ingin lari dari masalah, ingin kabur dari dunia nyata dan berbincang dengan ikan. Maka sekarang ini jauh lebih menyakitkan.

Aku cuman berdiam diri di kamar persegi panjang ini, menatap foto bocahku yang terpajang dibingkai cantik bewarna pink.

Berusaha untuk tidak mengkhayal lagi, mungkin seperti pergi ke gunung fuji lalu bermain dengan beruang. Ah memangnya ada beruang di sana?

Kalau di sini sih ada, beruang manis yang sedari tadi kupeluk dan ku remas badannya. Karena rasanya aku sudah tidak kuat lagi dengan hidup ini.

Bahkan air mata itu sudah tidak turun lagi, sudah lelah katanya. Kenapa sih manusia selalu tertipu oleh ekspetasi? Walau sebenarnya dia tahu itu cuman membunuhnya secara perlahan.

Kenapa manusia selalu membenci dirinya sendiri? Rasanya seluruh dunia sedang berbahagia sekarang, sedangkan aku, aku diam di sini, sendirian.

Tidak ada yang bertanya, "hei kamu, apa yang membuatmu menangis?"

Atau, "ayu, aku ajak kamu pergi ke kutub selatan untuk bertemu penguin."

Ah ya bagaimana ya bentuk penguin? Eh tidak maksudku, bagaimana kehidupan penguin di sana? Mereka tidak kedinginan kah? Ya tentu tidak, karena itu habitat mereka. Ah kamu ini bagaimana sih!

Pernahkah para penguin itu membenci dirinya sendiri? Pernahkan para penguin itu marah karena cuman bisa tinggal di daerah dingin?

Tidak, tentu tidak. Mereka kelihatannya bahagia, tidak denganmu. Memang cuman kamu yang sudah tahu kalau ekspetasi itu jahat, tetapi kerap kali, oh malah sering bermain dengannya.

Lagian salah siapa, dia membawa permen manis yang membuatku tergiur. Lalu kembali mencicipi manisnya dunia ekspetasi.

Dengan pertanyaan, "Kenapa ya gue ga bisa jadi dia?" Yang berputar terus di kepalaku.

Lelah untuk terus-terusan berpikir tidak adil, lebih baik aku diam di sini. Atau lebih baik putar balik?

Rasanya hancur hati rapuh ini saat otakku berpikir begitu. Sudah berapa banyak ku korbankan diri dan waktu demi sebuah mimpi? Kalau memang berakhir begini, apakah semua yang terjadi itu sia-sia?

Ku peluk lebih erat lagi beruang di pelukanku, nama beruang itu beru, diambil dari dua kata awal karena aku malas mencari nama hanya untuk sebuah boneka.

Kalau pertanyaanku dulu, "Bagaimana caranya berdamai?"

Maka sekarang permintaanku tidak muluk-muluk, hanya, "Adakah yang mau memelukku seerat aku memeluk beruang ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berdamai Dengan Saya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang