Hansel dan Gretel

4 2 0
                                    

"Ah, sudah lama sekali, ya." Wanita dengan mata hitam gelap tersenyum, terlihat kerutan di wajahnya, walaupun samar. Yang diajak bicara terengah. Menahan tangis.

"Aku tidak ingin menyakitimu, sungguh." Ucapnya lembut. "Aku ingin membantumu.." ujarnya sambil tersenyum. Tatapannya hangat, namun masih tajam, seolah menyiratkan rasa kesal yang berusaha ditutupi. Suasana yang mencekam. Pagi tiba seperti biasanya, gadis itu membuka jendela dan melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya, mereka bersitatap, seolah mengerti maksudnya, gadis itu membukakan pintu. Mendadak, memori kelam belasan tahun lalu menghujam kepalanya. Wanita ini.

"Kau sangat kesepian, bukan?" Tanya wanita itu. Gadis itu menatap si wanita, mengiyakan. Ia sangat ingin pergi jauh-jauh, cepat menghilang dari hadapan wanita ini, atau berteriak agar ada yang menolongnya, namun rumahnya ini jauh dari mana-mana. Lagipula, tawaran wanita ini sangat menarik.

"Aku ... kesepian? Sepertinya begitu."

"Aku tidak akan mati–atau malah tidak bisa mati dengan cara seperti itu... setelah hari itu kamu kembali ke rumah dan orangtuamu tiada, bukan? Itu hadiah dariku." Ujarnya. Gadis itu tidak menggubris. Ia tahu jelas pastilah wanita ini yang membunuh kedua orangtuanya. Toh, dia akhirnya tetap hidup tanpa mereka berdua.

"Kau menjauh ke tempat terpencil, huh? Tidak terlalu berpengaruh, bukan? Kamu tetap merasa bersalah.. itu adalah rasa bersalah yang tidak bisa dihilangkan, sekalipun kau mati. Jadi, itulah alasanku datang jauh-jauh kemari." Ia tersenyum kecil, mendekatkan wajahnya. " Aku bisa menghapus rasa bersalah itu. Aku akan memberimu kebahagiaan." Ucapnya setengah berbisik.

Mata gadis itu membulat, setengah tidak percaya, selebihnya takjub. Wanita ini terlihat sangat meyakinkan, di matanya. Namun, sedetik kemudian, ia menggeleng. "Terimakasih sudah datang jauh-jauh. Tapi aku tetap ingin merasa sakit. Aku ingin tetap merasa bersalah. Karena hanya itu alasanku tetap hidup." Ucapnya sarkastis.

"Sungguh? Walau kuceritakan ulang kisah itu?"

Gadis itu membulatkan matanya, menggeleng memohon. Terlambat, wanita itu sudah mulai menceritakan kisah yang dimaksud.

...

Dua kakak beradik tinggal di kota metropolitan. Gaya hidup naik, pula biayanya. Namun pendapatan hanya segitu-gitu saja. Tidak ikut naik. Tinggal di metropolitan adalah ide yang buruk, namun ia tetap ingin tinggal. Gaya hidup itu, menurutnya adalah jati dirinya, passion-nya.

Adalah Will, seorang pria dengan dua orang anak, satu perempuan, berwajah cantik yang diberi nama Joy, yang artinya kebahagiaan, dan kakaknya, laki laki bernama Jack. Aneh, bukan? Harusnya dia diberi nama Jill, agar serasi Jack dan Jill, namun Will berbeda, ia ingin putrinya bernama Joy.

Jack dan Joy.

Tahun 2000an, masa-masa sulit ekonomi bagi keluarga kecil itu. Ibu Jack dan Joy meninggal beberapa bulan lalu, membuat ayahnya limbung, kehilangan sosok yang biasanya ada. Toh, ketika ibu mereka masih ada, ayahnya juga sama saja. Tidak mempedulikan mereka.

Will semakin sering keluar rumah, bahkan jarang pulang. Sekalinya pulang, dia akan memukuli kedua anaknya dengan kondisi mabuk berat. Jack harus menyelamatkan adiknya, merelakan dirinya jadi samsak pukulan ayahnya setiap kali orang itu pulang.

Joy tahu persis yang sedang terjadi. Keluarganya hancur. Ibunya tiada untuk selamanya. Ketika upacara pemakaman, kakaknya mengatakan bahwa ibunya akan segera kembali, tidak perlu khawatir. Namun, Jack memutuskan untuk memberi tahu adik kecilnya yang berbeda satu tahun darinya apa yang sebenarnya terjadi. Ibu mereka sudah pergi. Untuk selamanya.

𝐒𝐇𝐄 𝐖𝐈𝐒𝐇 𝐄𝐕𝐄𝐑𝐘𝐁𝐎𝐃𝐘 𝐂𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐃𝐈𝐒𝐀𝐏𝐏𝐄𝐀𝐑 * ˚ ✦Where stories live. Discover now