chapter 7

13 2 0
                                    

Keluar dari pintu rumah, Devita memperhatikan sekeliling rumah. Rumah Devita bukanlah di sebuah kompleks mewah. Rumah sederhana ini berada di deretan padat penduduk yang masih bisa dilalui mobil. Dan mungkin hanya dia yang jarang berbaur dengan warga sekitar. Mama masih sering berbicara dengan tetangga, atau paling tidak bersapa dengan ketua RT untuk mengetahui berita-berita sekitar rumah.

Devita harus membatalkan rencana yang sudah ia buat kemarin. Karena mama tiba-tiba saja sakit dan harus istirahat. Jadi rencana yang bisa ia lakukan sekarang adalah mencari tukang ojeg dan pergi sampai halte bis. Setidaknya setelah itu dia akan aman. Itu yang Devita pikirkan sekarang. Tapi sialnya tidak ada satu pun tukang ojeg di dekat rumahnya.

Dia pun berjalan dan berharap akan ada tukang ojeg di depan. Melewati warung rokok, Devita tidak juga menemukan tukang ojeg. Hingga satu suara membuatnya terkejut. Devita pun menoleh dan melihat kutukan yang seperti terus menghantuinya.

"Muka lo kayak abis ngeliat setan," kata cowok itu. Dia melempar rokok ke tanah dan menginjangnya. Tanpa berkata apa pun dia berjalan ke arah Devita, memakaikan helm pada Devita. Dan memastikan helm itu tidak akan lepas. Cowok itu juga melepaskan jaket hitam dan menyampikannya ke tubuh Devita.

"Kalo lo gak mau jadi tontonan, mending cepet naik," kata Dylan. Devita pun menggerutu dan langsung naik ke motor Dylan. Motor trek hitam itu melaju dengan kecepatan sedang, tapi bagi Devita dia seperti akan di bawa ke neraka oleh cowok ini. Dan karena tidak ada tempat untuk berpegangan, mau tidak mau Devita mencengkram seragam Dylan dengan sangat erat. Dylan pun tersenyum dan sedikit mengencangkan motornya, membuat Devita memeluknya dengan sempurna.

****

"Dyl, please turunin gue di depan gerbang," Kata Devita. Dia sudah semakin cemas saat motor Dylan melaju di area sekolah. Dia baru saja melihat halte bis dan ada beberapa anak sekolah mereka yang turun dari sana. Dia sangat beruntung karena dia hanya sakit asma, bukan sakit jantung. Rasanya sekarang detak jantugnya bekerja dua kali lipat dari biasanya. Entah berapa kali dia menarik napas dan menghelanya. Motor Dylan semakin mendekati sekolahan, Devita menepuk bahu cowok itu berkali-kali.

"Dyl, please jangan sampe dalam," kata Devita lagi, dia semakin merasa cemas dan khawatir. Tapi sayangnya cowok itu seakan tidak menghiraukannya perkataannya sedikit pun. Motor hitam itu melaju dengan mulusnya ke dalam parkiran sekolahan. Yang otomatis membuat Devita dan Dylan menjadi pusat perhatian. Semua anak perempuan seakan bertanya siapa perempuan yang di antar Dylan.

Sesampai motor Dylan di parkiran, Devita pun turun dari motor, namun Devita tidak berani melepaskan helm yang menutupi kepalanya. Dia benar-benar takut dengan semua orang yang memperhatikannya saat ini. Dylan yang melihat Devita yang belum membuka helmnya, langsung mendekatinya dan membukakan helm dari kepala Devita. Namun saat Dylan akan membukanya, Devita seakan tidak ingin Dylan membukakan helm.

"Lo gak mungkin pake helm ini ke kelas," kata Dylan. Cowok itu pun mengambilnya dan Devita tidak bisa lagi menahan helm itu dari kepalanya. Dan spontan ia mendengar kasak-kusuk di belakangnya. Dia benar-benar tidak nyaman dengan semua tatapan orang-orang. Bukan karena dia takut, tapi Devita tidak suka dengan masalah. Dia selalu menghindar dari masalah apa pun.

Disaat Devita benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, tiba-tiba saja Dylan menggenggam tangannya. Langkah Dylan saat ini tidak terlalu cepat. Jadi Devita bisa mengikuti langkahnya. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah, karena sekarang semua benar-benar memperhatikannya. Melihat adegan picisan secara langsung. Dan sialnya Devita harus jadi pemeran utama.

"Dyl, lepasin tangan gue," pinta Devita.

"Kalo gue lepas tangan lo, gue berani jamin mereka akan nerkam lo," balas Dylan. Devita pun tidak berkata apa pun dan hanya menguti Dylan. Melewati kelas junior, lalu mereka pun berjalan ke tangga menuju lantai tiga. Devita berpikir kalau Dylan hanya akan mengantarnya ke kelas. Ternyata cowok itu masih menggengamnya, melewati kelas dan berjalan ke kantin.

"Lo ngapain bawa gue ke kantin?" tanya Devita.

"Lo pasti bangun pagi-pagi banget untuk kabur dari gue. Dan udah pasti lo belum sarapan," jawab Dylan. Dalam hati Devita membenarkan perkataan Dylan. Dia pun menghela napas dan duduk pasrah di bangku kantin. Dylan pun berteriak pada tukang mie soto.

"Dyl, sebenarnya lo mau apa sih? Kalau lo pengen gue ngaku kalah, oke gue kalah. Gue..."

"Itu bukan kalah, tapi nyerah," balas Dylan. Devita menatapnya dengan kesal.

"Lo beneran cowok paling brengsek," ucap Devita. Dan tanpa mempedulikan soto ayam Devita pergi dari kantin. Cowok ini benar-benar gila! Dia sengaja ingin mempermainkannya. Dia hanya ingin membuat Devita menangis untuknya. Dia hanya menganggap semua adalah permainan. Dia tidak menghargai perempuan dan memperlakukannya dengan sangat rendah.

Devita benar-benar marah, tapi dia lebih merasa terluka. Devita masuk ke dalam toilet dan menutup satu bilik. Dia tidak ingin menangis, tapi apa yang Dylan lakukan membuatnya teringat lukanya. Orang yang dia dan mama cintai, tiba-tiba saja meninggalkannya. Lalu dia menghilang tanpa jejak sedikit pun. Devita menutup mulutnya agar suara tangisannya tidak terdengar. Dia menangis sampai hatinya merasa lega dan tenang. Setelah merasa lebih baik Devita pun berjalan keluar dan mencuci mukanya.

Devita menghela napas dan berjalan keluar. Namun, tiba-tiba saja satu genk perempuan masuk ke dalam toilet. Devita mengenal mereka semua, Laras si anak paling pintar di sekolah beserta antek-anteknya. Walau pun Laras anak paling pintar, bukan berarti dia tipe cewek cupu. Dia akan terlihat seperti anak manis di depan guru-guru, tapi di depan murid yang ia anggap saingannya, Laras bisa menjadi lawan. Dan sekarang Devita berdoa kalau dia tidak berurusan dengannya.

"Eh, ada Devita," ucap Laras dengan nada yang sangat manis. Jujur saja Devita sangat muak dengan nada Laras yang sangat dibuat-buat.

"Hai, Ras. Gue duluan ya," pamit Devita, seraya melewati Laras. Namun, perempuan itu menahan tangan Devita dan menariknya agar kembali masuk.

"Buru-buru banget. Gue kan mau ngomong sama lo," kata Laras. Devita hanya menghela napas dan menatap perempuan itu.

"Mau ngomong apa?" tanya Devita.

"Punya urusan apa lo sama Dylan?" tanya Laras. Suara manis perempuan itu seakan menghilang. Dan berganti dengan nada licik.

"Kenapa lo tanya gue, tanya aja cowoknya langsung," balas Devita. Laras menatap Devita yang menatapnya menantang. Laras melayangkan tangannya dan hampir saja mengenai pipi Devita.

Laras dan Devita menoleh dan ia melihat Tia yang menahan tangan perempuan itu. Laras berusaha untuk menarik tangannya, tapi sayangnya Tia menahannya dengan erat.

"Ya ampun, Laras! Lo diapain sama Devita?!" tanya Tia dengan ekspresi yang berlebihan.

"Maafin Devita ya, Ras. Nanti gue ajarin deh dia," kata Tia, dia melepaskan cengkramannya pada Laras. Perempuan itu pun sedikit terdorong, karena masih terus berusaha untuk menarik tangannya. Tia langsung menarik Devita keluar dan membawanya ke kelas. Devita tahu ini semua awal dari kekacauan hidupnya. sepertinya bukan hanya Laras yang akan menerkamnya, tapi semua zombie gila di sekolahan ini akan mencincangnya. 

cursed boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang