29. Mari Kita Lakukan

Mulai dari awal
                                    

"Lo boleh minta hal lain dan gue janji akan kabulkan, kecuali ini, Ta." Riga meraih tangan kanan Zeta dengan tangan kirinya yang tidak memegang kemudi. "Kita punya rencana sekarang, Ta." Riga memelankan laju mobil dan mengambil jalur lambat ketika menggenggam tangan Zeta, memastikan keselamatan mereka berdua. "Sekarang kita punya tujuan pernikahan, punya keinginan bersama.Buat gue itu cukup menjadi alasan untuk menjaga lo dengan lebih baik lagi." 

Zeta merasakan wajahnya menghangat. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Riga tapi pria itu menolak melakukannya. Ketika akhirnya mereka memasuki lokasi tujuan mereka hari itu, Riga akhirnya melepaskan genggamannya.

Tidak butuh waktu lama untuk Riga menemukan tempat parkir, sehingga keduanya tidak perlu membuang waktu dan energi mereka lebih banyak lagi.

"Kita jadi punya waktu untuk santai," bisik Riga setelah mereka berdua menyelesaikan kuesioner yang harus diisi dan mengembalikannya ke bagian pendaftaran. 

"Gue gugup banget." Zeta tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Kedua tangannya dingin sejak turun dari mobil tadi. Zeta bahkan sempat salah mengisi kuesioner dan meminta lembaran baru untuk dikerjakan.

Riga mengambil kedua tangan Zeta, kemudian meremasnya dengan tangannya. "Hanya sebentar, kok. Tarik nafas dan embuskan pelan-pelan."

Zeta mengikuti saran Riga yang ternyata lumayan bisa meredakan kecemasannya. Tetapi ketika suster memanggil namanya lebih dulu, kepanikan kembali melanda Zeta.

"Tenang, Ta. Gue tunggu sini ya."

Setelah yakin akan keinginan keduanya untuk memiliki anak, juga dorongan dari orangtua Zeta dan Adelia yang semakin menjadi-jadi untuk menimang cucu, akhirnya Zeta dan Riga memutuskan menjalani tes kesuburan untuk memastikan kemungkinan mereka memiliki anak.

Sebenarnya menurut teori, tes kesuburan baru disarankan dijalani oleh pasangan yang menikah setelah satu tahun rutin berhubungan seksual dan tidak juga ada tanda-tanda kehamilan. Bagi Zeta dan Riga sendiri, mereka baru tujuh bulan terakhir rutin berhubungan seksual tanpa pengaman. Jadi sebenarnya belum tentu infertil sehingga harus melakukan tes kesuburan.

Definisi infertilitas atau kemandulan itu sendiri adalah adanya gangguan pada sistem reproduksi yang menyebabkan kegagalan terjadinya kehamilan, meski telah melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi dalam kurun waktu 12 bulan atau satu tahun penuh.

"Tes saja nggak ada salahnya, Mbak," pinta Mama ketika Zeta dan Riga mampir ke rumah orangtua Zeta untuk menyerahkan oleh-oleh.

"Mama sama Papa sudah tua, kapan lagi kami punya kesempatan menimang cucu. Ya kan, Papa?" lanjut Mama meminta persetujuan sang suami.

"Kemarin Mama dapat info dari Mbak Adelia, katanya sudah kasih kamu daftar obgyn buat kamu cek ya. Coba saja satu, Mbak. Kalau misalnya kenapa-kenapa, bisa cepat ditangani. Kalau tidak ada apa-apa malah lebih bagus lagi, kalian bisa langsung program hamil. Ingat umur, Mbak. Sebentar lagi mau kepala empat kamu."

"Zeta baru mau 35, Ma. Masih ada lima tahun lagi sebelum usia 40."

"Loh itu juga masalah loh, Mbak. Mama baca-baca perempuan itu memiliki tingkat kesuburan tertinggi ketika berusia 20-an hingga awal 30-an lalu akan menurun ketika memasuki usia 35 tahun atau lebih. Saat itu jumlah dan kualitas sel telur yang diproduksi sudah rendah dan kurang baik. Kalau Nak Riga sih, sampai usia 60 tahun juga masih jago menghamili orang."

Riga yang hampir saja tertawa langsung diam ketika Zeta menatapnya tajam.

"Kami nggak buru-buru kok, Ma. Kami juga baru setahun menikah, masih lama perjalanannya," ucap Riga buru-buru, berusaha membela Zeta.

"Justru karena itu. Kalian sudah bareng-bareng satu tahun penuh. Kecuali kalian pisah kamar nggak saling berhubungan, kan tidak mungkin kalian bareng-bareng terus tapi nggak hamil-hamil."

Riga dan Zeta sempat tersedak ketika Mama menyebutkan pisah kamar, tetapi mendengar kalimat terakhir Mama, keduanya menyadari tidak ada lagi alasan yang bisa dipakai untuk membungkam sang Mama selain hasil tes.

Itulah alasan mengapa pagi ini Riga dan Zeta sama-sama mengambil cuti seharian untuk menjalani berbagai macam tes. Untuk Zeta akan ada serangkaian tes yang dilakukan, mulai dari tes ovulasi untuk mengukur kadar hormon guna menentukan apakah wanita sedang berovulasi serta dapat menghasilkan sel telur secara teratur.

Setelah itu yang menurut beberapa orang cukup menyakitkan after-effect-nya adalah tes USG dan HSG  untuk mendeteksi apakah terdapat kelainan pada rahim, indung telur, atau tuba falopi. Tes berikutnya histeroskopi, untuk mendeteksi kelainan pada rahim dan leher rahim atau serviks. Terakhir ada tes hormon, untuk menentukan apakah terdapat kelainan hormon yang bisa menyebabkan masalah kesuburan pada wanita.

Sementara untuk Riga cukup analisis sperma terlebih dahulu, untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan sperma. Rekomendasi tes ini mereka terima setelah sebelumnya berkonsultasi dengan obgyn.

Kekesalan Zeta akan banyaknya tes yang harus dijalani, dan membuatnya sempat menyesal terlahir sebagai perempuan, sedikit terhibur ketika Riga mendatanginya dan membisikkan sesuatu.

"Jangan ketawa dong, Ta," pinta Riga memelas.

Zeta menahan tawanya kemudian mengangguk cepat. Riga langsung meninggalkan Zeta dan kembali ke ruangan tempat ia keluar sebelumnya.

Sebuah pesan baru dari Riga masuk ke ponsel Zeta.

Aku berpikir tentang menciummu, di mana-mana, di semua lekukan tubuhmu.

Zeta tersenyum sekilas, sebelum mengirimkan balasan.

Aku juga terus menyentuh diriku. Kamu ingin mulai mencium di mana?

Ternyata, keahlian sexting sangat diperlukan dalam keadaan seperti sekarang ketika Riga harus mengeluarkan sperma, dan tidak ada satupun majalah porno atau film biru yang dapat merangsang dirinya.

Setelah satu tahun bersama, Riga butuh Zeta untuk membantunya.

***

Pisah Boleh Cerai Jangan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang