Chapter 43 - Kilah

Mulai dari awal
                                    

"Maaf," lirih Ardanu, "Maaf, Era. Aku penyebab penderitaan kamu." Ia kembali menarik kepala Era disandarkan di dadanya.

Nanu kecil telah tumbuh menjadi laki-laki yang menjulang tinggi. Era harus mendongak menatapnya. Menjauhkan tubuhnya. Lalu, mengusap air mata menggunakan lengannya.

"Iya, kamu penyebabnya." Suara Era serak menyetujui. "Kamu harus dihukum sama seperti orang yang membuat hari-hariku seperti di neraka. Mama." Era tertawa pelan, kemudian menggeleng.

"Lebih tepatnya Mama kamu, bukan Mama aku. Seorang ibu nggak akan memukul, menendang, menarik rambut, hingga mengunci anaknya di dalam kamar mandi ...." Suara Era tercekat tangisannya sebelum ia kembali berucap. "Kematian Mama kamu terbakar bersama mobilnya, nggak cukup untuk menebus dosa-dosanya!"

"Dan kamu juga harus merasakan hal yang sama!" teriak Era histeris.

Ardanu hancur. Air matanya terus meruah. Kepalanya menunduduk menghindari tatapan Era.

"Tapi ... aku nggak akan pernah sanggup melakukan itu ke kamu. Aku memaafkan kamu, Nanu." Ardanu kembali menatap Era.

"Apa yang harus aku perbuat suapaya bisa menebus kesalahan aku, Ra?"

"Kamu mau melakukan satu hal buat aku?"

Ardanu mengangguk.

"Bawa Stevlanka ke hadapan aku. Dia yang harus membayar semuanya."

Ardanu bergeming. Matanya membelalak. Ardanu tidak akan bisa melakukan hal bodoh itu. Demi Tuhan, Dirinya selama ini berusaha memberikan kebahagiaaan pada Stevlanka. Dan sekarang ia harus merusaknya? Ardanu tidak akan pernah sanggup. "Era, sudahi semuanya. Lepaskan semua dendam kamu. Ini bukan Era yang dulu. Era yang aku kenal nggak akan melakukan ini semua."

"Era saudara kembar kamu itu udah meninggal saat ulang tahunnya yang ke tujuh tahun. Ketika sang Mama hanya memperdulikan anaknya yang lain dengan membeli satu kue ulang tahun, kalo kamu lupa!" Suara Era bergetar, matanya berubah tajam. "Era hidup dengan dirinya yang baru."

"Era, cuma karena kamu punya rasa sakit di masa lalu bukan berarti kamu juga menebar rasa sakit itu ke orang-orang sekitar kamu—"

"Cuma kamu bilang?" tanya Era meninggi. "Penderitaan yang Mama kamu kasih itu kamu bilang 'cuma'?" Ia menggelengkan kepalanya. Ardanu menjatuhkan lututnya, bersujut di depan Era. Laki-laki itu menangis.

"Jika ada orang yang harus membayar penderitaan kamu bukanlah Stevlanka, tapi aku. Jangan Stevlanka." Ardanu memohon. "Biarkan dia hidup, Ra. Udah cukup kamu membuat hidupnya menderita selama ini."

"Kamu begitu mencintai anak jaksa yang udah menyebabkan aku menderita?" sarkas gadis itu.

"Dia seperti hidup aku, Ra."

"Dan aku?" bentak Era tidak terima. Air matanya kembali menetes. "Aku gimana?"

Ardanu meraih tangan Era, berlutut. "Aku mohon, jangan dia."

"Tanpa aku pun, dia akan terus menderita. Itu sebabnya aku mau mengakiri penderitaannya. Kamu cukup bawa dia di hadapan aku, Nanu."

Ardanu menggeleng.

"Dari awal kamu memang nggak pernah peduli sama hidup aku. Kamu sama seperti Mama. Kamu cuma peduli sama diri kamu sendiri. Kamu nggak tahu, gimana aku hidup? Kita begitu dekat, tapi kamu nggak tahu apa pun. Atau ... kamu memang pura-pura nggak tahu. Aku yang selalu menanggung kesalahan kamu, Nanu!" Era menyentak tangan Ardanu. "Saat nilai kamu jelek, aku yang disalahkan, aku dinggap membawa pengaruh buruk kamu."

Mereka sama-sama diam sejenak. Lalu, Era kembali berkata, "Semua ada di tangan kamu," Era duduk di hadapan Ardanu. Gadis itu memegang rahang Ardanu, mendongakkannya. "Mengakhiri Stevlanka atau aku yang akan berakhir."

DELUSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang