Nothing like us

366 245 412
                                    

Delapan belas tahun dia hidup di alam semesta ini tak pernah satu kali pun dia merasakan seperti apa yang Haechan jelaskan, jantung yang berdebar kencang, euforia ketika melihat seseorang. Perasaan jatuh cinta, dia belum pernah merasakannya bahkan untuk satu kali pun.

Namun, baru-baru ini dia merasakan semua hal itu pada satu orang gadis, Park Hana. Dari banyaknya gadis cantik yang pernah berusaha mendekatinya tak ada satupun yang seperti Hana menurut Mark. Baru pertama kali dia menemukan gadis yang berbeda dari kebanyakan gadis lainnya, di pertemuan pertama mereka, Mark sudah bisa mengambil kesimpulan, bahwa gadis seperti Hana lah yang dia cari selama ini.

Mari kita ulas balik pertemuan pertama mereka.

Jembatan Mapo bukanlah tempat pertama kali mereka bertemu, jauh sebelum Hana menyadari akan dirinya, Mark sudah lebih dulu memperhatikan gadis itu. Bus nomer 244 berwarna biru adalah saksi bagaimana mereka bertemu.

Pagi itu hari Senin, suasana kota sedang ramai-ramainya, penumpang bus juga berdesakan, banyak orang yang tak kebagian kursi hingga memilih untuk berdiri. Dalam keramaian bus itu Mark tak memperhatikan sekitar, ia hanya duduk di kursi bagian belakang dengan telinga yang tersumbat earphone miliknya yang kala itu tengah memutar lagu kesukaannya.

Dalam riuh itu Mark dengan tenang membaca buku berisikan macam-macam puisi dalam bahasa Inggris berjudul Sonnets from the portuguese and other poems karya Elizabeth Barret Browning yang merupakan salah satu penyair Inggris kesukaannya.

Ia tak terganggu sedikitpun, hingga satu suara yang masih terdengar oleh telinga nya yang tersumbat earphone memecahkan fokusnya dalam membaca buku.

"Permisi pak, bisa tolong berikan kursi itu untuk nenek ini?"

"Sudah tua tapi masih saja berpergian, diam saja dirumah sana. Orang tua merepotkan!"

Mark sedikit geram dengan ucapan bapak yang duduk tak jauh dari tempatnya. Sudah jelas-jelas disini dia yang bersalah duduk dikursi yang seharusnya diperuntukkan para lansia.

"Bapak menduduki kursi untuk lansia, dan nenek ini berhak untuk mendapatkan kursi itu. Jadi, bisa bapak berdiri sekarang?"

"Tidak bisa! Saya juga berhak untuk mendapatkan kursi ini, saya naik bus itu bayar! Dikira gratis apa?"

"Tidak masalah kalau bapak menempati kursi lain, tapi ini kursi untuk lansia bapak tidak berhak untuk duduk disini. Apa susahnya untuk berdiri pak? Bapak masih belum terlihat tua, oh, atau bapak merasa kalau bapak ini sudah tua ya?"

"Hey anak muda! Jangan sembarangan bicara ya. Anak muda zaman sekarang benar-benar tidak tahu sopan santun."

"Sekarang, siapa yang tidak tahu sopan santun? Silakan bicara pada orang yang tak mau mengalah dengan orang yang lebih tua. Pada orang yang bersikeras menduduki kursi yang seharusnya diduduki oleh orang yang lebih tua darinya. Ya, silakan bicara dengan diri bapak sendiri."

"Anak ini!"

Kebanyakan dari orang-orang di bus melempar protes pada bapak yang masih mempertahankan kursi yang tidak seharusnya dia duduki membuat suasana bus menjadi semakin ramai.

"Sudah nak, nenek masih kuat untuk berdiri. Jangan ribut-ribut tidak enak dengan penumpang lain."

"Maafkan aku ya nek, nenek bisa berpegangan pada ku. Biar ku bawa barang milik nenek."

Mark yang sedari tadi geram, pun memilih berdiri dari tempat duduknya, membiarkan kursi itu di duduki oleh nenek tua tadi.

"Nenek, duduklah disini, biar aku saja yang berdiri."

Somewhere in Canada || MARK LEEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt