Jauh

73 5 2
                                    

Kalau boleh, aku ingin menceritakan sebuah cerita. Aku adalah pria dewasa, lelaki yang banting tulang dengan sangat keras, ulet, gigih, dan pantang menyerah. Pekerjaanku adalah mencari sesuatu, melontarkan sesuatu, kadang berseteru, mengangkat jari telunjuk dengan menggebu, dan kadang-kadang harus mengungkap hal-hal tabu. Namun mempesona semua itu candu. Aku banyak bertemu, bertamu, dan kadang harus menjamu. Tapi, diluar semua itu, ini bukan kisahku. Ini kisah Pak Romi , manusia paling jauh , sangat jauh , lebih jauh dariku , bahkan sampai dijauhi , oleh orang yang dekat dengannya , maupun yang jauh .



"Mau ke kantor lagi, Pak?" tanya perempuan paruh baya berambut separuh putih bergelombang, menatap Pak Romi dengan tatapan, serius?

Pak Romi hanya tersenyum.

Seperti biasa, beliau berlalu. Seperti biasa. Seperti tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu. Seperti dulu. Seperti lazimnya beliau pergi ke kantor, bahkan ketika mentari baru membentuk ufuk, bahkan sampai beliau terbatuk, kadang terkantuk, atau bahkan terantuk. Bara api dalam dada beliau seolah tak pernah padam, terus membara, bahkan sampai membuat beliau berada di ujung mara bahaya. Pernah. Sering malah. Tapi tak lantas membuat beliau peduli. Beliau tidak peduli. Pernah. Sering malah.

"Pagi, Pak Romi!" Seseorang menyapa. "Seperti biasa, pagi-pagi sekali? Ada apa gerangan?"candanya. Lalu, tertawa.

"Pagi, Pak Karto. Kau ini seperti manusia yang tidak tahu saja. Atau bahkan tidak pernah tahu. Sudahlah, mari kita ngopi dulu. Ayolah, jangan sungkan, aku yang traktir. Kau ini seperti yang tidak mau saja. Atau bahkan tidak pernah mau."

Terlepas dari semua kesibukan Pak Romi, beliau baik. Sangat baik. Beliau juga orang yang asyik, tak seperti kambing yang hanya mengembik. Beliau selalu menyempatkan diri untuk sekadar bertegur sapa, walaupun para tetangga membalas sapaannya dengan tatapan bertanya. Setiap pagi, beliau selalu menyapa bawahannya, juga sesekali metraktir satpam di kantor. Secangkir kopi, tidak masalah. Toh dua ribu rupiah tidak akan menguras dompet beliau. Beliau juga seorang pekerja keras, ulet, dan gigih. Demi bela negara, apapun beliau lakukan. Tanpa pilah-pilih, alih-alih berpamrih, beliau malah berjuang semakin gigih. Hingga berpeluh, kadang terjatuh, dan situasi menjadi keruh. Beliau tidak mengeluh. Tetap tersenyum, lebar.

Ah, Pak Romi memang terlalu baik. Sungguh terlalu baik.

Tapi kepribadian beliau yang baik, tak lantas membuat kejahatan menjadi baik.

"Pak Romi, bagaimana kasus yang kemarin? Sudah selesai? Saya dengar Pak Romi sampai hampir ditabrak mobil." Pak Karto menyeruput kopi.

"Yah, begitulah, Pak. Risiko pekerjaan." Pak Romi menyeruput kopi.

Tapi kejahatan tak lantas berhenti di situ. Pagi ini, ketika Pak Romi duduk di meja kantornya, matanya tiba-tiba membelak. Ada kasus. Bukan, bukan kasus seperti itu. Sudah biasa beliau mengurus kasus lain. Korupsi anu, korupsi itu, korupsi ini. Bukan. Itu sudah biasa. Ini berbeda.

Pak Romi mengurut dada.

Cepat sekali haluan hidupnya berubah. Dari yang awalnya beliau sibuk, kini beliau super sibuk sekali. Tidak pernah pulang ke rumah. Berhari-hari. Beberapa orang tidak percaya, terperangah. Tapi beberapa orang tahu, itu fitnah.

"Anda tahu mengapa anda berada di sini?"

Pak Romi menggeleng.

Lalu, sampai beberapa hari berikutnya, persidangan itu masih berlangsung. Beliau cuma bisa tersenyum sambil sesekali menjelaskan bahwa beliau tidak bersalah. Tapi semua bukti yang terpampang seolah nyata, memberatkan beliau. Media memberitakan di mana-mana. Orang-orang terdekat menangis.

Hari ke sepuluh, hakim mengangkat palu.

Bu Citra, istri Pak Romi, menangis pilu. Berteriak tentang, "Anak durhaka! Anak tak tahu diuntung!"

Hakim mengangkat palu, semakin tinggi.

"Tunggu!"

Semua orang menatap ke arah sang penuntut dengan tatapan heran. Bu Citra berhenti sesenggukan.

"Saya, saya, membatalkan tuntutan ini." Tergugu.

Satu ruangan ricuh.

"Semua yang saya tuntut, palsu. Semua itu palsu." Sang penuntut menangis. Air matanya bersimbah. "Saya tidak akan pernah bisa menuntut ayah saya sendiri. Beliau tidak bersalah. Saya cuma ingin bilang kalau saya rindu Ayah. Saya rindu Ayah berada di rumah. Saya ingin bilang, pekerjaan Ayah di kantor sangatlah berisiko, sementara Ayah jarang sekali berada di rumah. Saya sangat rindu sekali dengan Ayah, tapi Ayah malah lebih memilih rindu dengan tumpukan kasus, dan tidak rindu dengan yang merindu. Masih adakah saya di hati Ayah?"

Ruang sidang senyap. Semua pasang mata yang berada di dalam tembok kokoh mencair. Hakim juga ikut menitikan air mata. Pak Romi berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju tengah ruangan. Merentangkan tangan.

"Kemari, Almas, anakku. Kemari."

Almas menghambur memeluk Pak Romi. Sesenggukan.

"Sungguh maafkan Ayah, Nak. Maafkan. Benar katamu. Ayah terlalu rindu dengan sesuatu yang tidak merindu, dan tidak merindu pada sesuatu yang rindu. Ayah melangakah terlalu jauh, berpeluh-peluh, hingga lupa untuk bersauh. Maafkan Ayah, Nak. Sungguh, Maafkan."

Mereka menangis. Kami menangis. Aku yang kebetulan menyaksikan kisah itu, ikut menangis. Aku baru teringat kalau aku juga punya keluarga. Dan aku sudah meninggalkan mereka berhari-hari tanpa memberi kabar. Sudah bertahun malah. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Memainkan jemari di atasnya.

"Kasusnya sudah selesai, Sayang."

Tentu saja, tidak ada yang menjawab.

Saat itu juga, aku langsung berkemas. Beranjak. Mengemudikan mobil dengan cepat. Terbayang di benakku, wajah anak dan istriku yang sedang tersenyum. Mereka mengenakkan pakaian serba putih. Aku tersenyum lebar, tidak sadar kalau sedari tadi mobil dari arah berlawanan terus membunyikan klakson.

Istriku, anakku, tunggu aku.

Sungguh, aku rindu.

JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang