II : Perpetrator

Mulai dari awal
                                    

"Lee Haechan, jangan bilang sekarang kau sedang mencurigaiku?"

Haechan segera menampilkan wajah cemberutnya. "Apa-apaan sih, aku 'kan cuma bertanya."

"Lagi pula aku hanya seorang anak SMA, mana mungkin dapat menyebabkan hal gila seperti itu." Dengus Renjun menutup kedua matanya dengan alis yang tajam.

"Aku juga anak SMA."

Samar-samar Renjun mendengar Haechan mengatakan sesuatu, tapi dia tidak mendengarnya begitu jelas.

"Apa ...?"

"Ada apa di kulkas? Siapa tahu aku dapat membuat hal yang lezat dengan bahan-bahan seadanya." Haechan berdiri, berkacak pinggang melihat ke arah Renjun.

Lagi-lagi Renjun memasang ekspresi wajah kebingungan. "Kenapa tanya padaku ...? Ini 'kan apartemenmu."

"HAHAHAHAHA."

Seketika tawa Haechan meledak. Renjun tidak mengerti, apakah ada hal yang sangat lucu? Atau temannya ini sedang gangguan mental?

"Apa sih? Bikin merinding saja."

-

"Haechan, di mana toilet?" Renjun berjalan ke arah dapur, menghampiri Haechan yang sedang menyiapkan makan malam.

"Di sebelah sana."

Sang empu menunjuk satu ruangan kecil dengan pintu putih yang kusam, tak ada penerangan di bagian lorong itu.

Membuat Renjun sedikit ragu, dia tidak tahu kenapa dia seperti ini.

"Di sana ...?" Tanyanya memastikan.

Haechan menoleh pada temannya, meletakkan spatula dan tersenyum aneh. "Kenapa? Kau cemas aku menyimpan mayat di sana?"

Renjun terdiam, kenapa Haechan mengatakan itu? Dan untuk apa dia tersenyum?

"Pft, bercanda~"

Melihat Renjun yang panik dan ketakutan membuatnya terkekeh, dia kembali mengaduk masakannya.

Renjun seketika menatap datar pada pria berkulit tan itu, dia tidak percaya selera humor Haechan sangat aneh.

Manik matanya beralih pada kamar mandi itu, dia melangkah mendekati pintu, tapi suara Haechan menghentikan gerakannya.

"Ah, tunggu sebentar."

"Ada apa?" Renjun berbalik mendapati pemuda Lee sedang melepaskan celemek yang mengikat di pinggangnya. Pria itu menghampirinya.

"Jangan masuk, aku lupa kalau keran airnya rusak, kau pakai kamar mandi yang ada di kamarku saja." Ucap Haechan sambil menggaruk tengkuk lehernya.

"Oh, aku bisa gunakan air dingin."

"Tidak baik mandi air dingin di cuaca seperti ini, bagaimana jika kau sakit? Aku tidak akan mengurusmu."

'Tidak biasanya dia khawatir seperti ini? Aku jadi penasaran ....'

"Kamar mandi di mana pun 'kan sama saja, aku sudah membersihkannya, jadi tenang saja~"

Haechan mendorong punggung sempit Renjun menjauh dari dapur, mempersilakan kamar mandi miliknya digunakan sesuka hati.

"Ukh, jangan dorong aku."

Haechan mendorong pemuda itu ke dalam kamar mandinya, padahal dia tidak perlu melakukan itu.

"Nanti aku akan memanggil tukang untuk memperbaikinya~" Itu ucapannya terakhir kali sebelum menutup pintu.

Setelah keadaan benar-benar hening menandakan Haechan sudah keluar dari kamar, Renjun menanggalkan pakaiannya. Dia menyalakan keran air dalam suhu 38 derajat celsius, cukup hangat hingga meninggalkan banyak embun. Dia membasahi rambut, membiarkan air mengalir hingga ujung kakinya. Semerbak sabun memenuhi ruangan itu dan indra penciumannya. Busa yang berlimpah membuatnya harus berhati-hati dalam melangkah.

Ah, dia baru saja menyadari. Bahwa dia lupa membawa baju ganti. Keran air dibiarkan menyala, dia berjalan menuju pintu dengan handuk putih melingkar di pinggangnya.

Tapi anehnya, dia tidak dapat membuka kenopnya.

Berusaha bersikap tenang, dia hanya berpikir 'Oh, mungkin saja karena tanganku licin.'

Dan dia memutuskan untuk mencari baju ganti setelah mandi.

Beberapa lama hingga kulit itu sepenuhnya menghangat Renjun meraih handuk bersih dan mengeringkan tubuhnya sebentar, setelah itu dia mencoba kembali membuka kenop itu.

Sesuai dugaannya, pintu ini tidak dikunci.

Renjun membuang napasnya lega, hampir saja dia berpikir Haechan sedang menjahilinya.

Pintu itu terbuka, tapi betapa terkejutnya dia saat Haechan, pria itu, berada di depannya.

"Se-Sedang apa?" Apa mungkin Haechan benar-benar menjahilinya? Dia benar-benar kaget hingga jantungnya ingin lepas, untung saja dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

"Apa? Kau tidak bawa pakaian 'kan? Dasar bodoh, ini." Haechan memberikan beberapa potong baju dan celana pendek, serta pakaian dalam.

"Kau 'kan tidak perlu memberikannya langsung, letakan saja di depan pintu."

"Bagaimana kalau nanti kau jadikan alas kaki? Hanya ini baju yang bisa kupinjamkan padamu."

Renjun menerima potongan kain itu. "Kenapa? Apa pakaian di lemarimu cuma beberapa lembar saja?"

"Ck, ukuranku 'kan berbeda jauh denganmu, kalau mau pakai saja celanaku ini, akan kujamin bokongmu akan terpampang dengan jelas." Ucap Haechan dengan nada kesalnya, Renjun hanya tersenyum kecil menanggapinya.

"Sepertinya kau nyaman hanya memakai handuk saja, tampaknya baju ini tidak diperlukan." Haechan mengambil kembali pakaiannya.

Tapi dengan sigap Renjun merebutnya. "Eh, berikan padaku."

Karena Renjun akan mengganti bajunya, Haechan pergi membuka pintu.

"Aku mau pergi sebentar, makan malam sudah kusiapkan di meja." Begitu katanya sebelum pintu benar-benar menutup.

Jika diingat-ingat lagi, Haechan adalah satu-satu temannya di kota ini. Bagaimana bisa dia memiliki teman? Bahkan belum sehari tapi sekolahnya sudah hangus terbakar. Ah, dia punya, laki-laki yang duduk bersamanya hari itu, baru saja mereka akan menjadi teman, tapi dia sudah meninggal duluan karena insiden yang tidak terduga.

Jika saja saat itu dia tidak menyuruhnya pergi ke gudang, mungkin saja Renjun akan bernasip sama.

Dia ingin sekali menganggap bahwa temannya itu masih hidup, tapi data-data siswa yang selamat memberitahu segalanya. Nama Na Jaemin tidak tertulis di sana.

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued.

Mr. Naim [ jaemren ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang