00. Propose

77 7 4
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.











"Mari menikah."

Dua kata yang terucap penuh keyakinan dari bibirnya terngiang begitu nyata. Seolah dia baru mengatakannya beberapa sekon yang lalu.

Rasanya seperti dia melamar ku jutaan kali tiap kata itu kembali berdengung memenuhi kepalaku.

Aku tersipu bak putri malu, pipi terasa merona kemerahan seperti saat tersengat panas matahari yang bersinar terik di siang hari.

Kedua mataku seolah enggan beristirahat sedikitpun meski rasanya begitu berat. Ini bahkan sudah lewat tengah malam dan aku hanya membolak-balikkan tubuh di atas tempat tidur dengan resah selama berjam-jam. Jantung ini terasa bertalu begitu menggebu seakan hendak mendobrak pertahanan perikardium yang melindunginya untuk tetap berada di posisi yang benar.

Kepalaku menjadi pelaku utama dalam hal ini. Lagi-lagi memutar reka adegan kejadian lima jam yang lalu ketika aku selesai melakukan makan malam dekat pantai dengan seorang lelaki yang sudah aku kenal sejak dua tahun lalu.

Han Jimin, namanya.

Mengingat namanya saja sudah membuat seluruh tubuh bergetar hebat. Tengkuk terasa meremang dan dingin seketika seolah ada seseorang yang meletakkan balok es di sana dengan sengaja.

Lelaki itu melamarku beberapa jam yang lalu saat kami memutuskan untuk berjalan-jalan sembari menghabiskan malam di tepi pantai seusai makan malam kami. Aku yang tengah asyik memainkan jemari kaki di sela pasir mendengar dia memanggil namaku dengan lantang di antara suara debur ombak yang memecah keheningan malam.

Dia berlari padaku yang jauh berada di depannya. Ku lihat wajahnya yang tak melunturkan senyum sedikitpun ketika dia sudah berdiri lebih dekat sekitar lima langkah dariku. Pipi tembamnya yang merona bak bunga sakura yang mekar di puncak musim semi ketika dia menatap sekeliling dengan tak terarah membuatku merasa gemas selama beberapa saat.

Kemudian ia akhirnya menghembuskan napas panjang, menimbulkan uap karbondioksida yang mengepul begitu kentara karena cuaca dingin yang melingkupi kami.

"Yoon Jina," dia kembali menggumamkan namaku, begitu lembut menyapa rungu.

"Iya?"

Ku lihat dia menggerakkan tungkainya. Ia berjalan mendekat, mengikis jarak yang tersisa di antara kami hingga menyisakan satu langkah yang memisahkan. Tangannya yang terkepal meraih milikku yang kini rasanya hampir membeku karena terpaan angin laut yang kencangnya luar biasa membuat menggigil sekujur tubuh.

Tanganku berubah hangat setelah ia membuka telapak tangannya dan menggenggam tanganku dengan erat. Hot pack kecil yang sebelumnya ia genggam menjadi penghangat di antara tangan kami. Meski tangannya yang sama-sama terasa beku adalah penghantar hangat yang lebih baik tiap kali ia menggenggam jemari dan mengusap lembut di sana. Hangat yang ia hasilkan bukanlah dari luar, melainkan dari dalam ceruk hatiku yang menghangat kemudian menjalar sampai ke permukaan pipi yang menjadi memerah karenanya.

"Mari menikah."

Akhirnya dia mengatakan hal sakral itu. Angin yang bertiup kencang tak menyurutkan volume suaranya sama sekali. Terdengar begitu jelas dan yakin tepat di telingaku yang memerah setelahnya.

Dia melamarku dengan sepasang hot pack yang tergenggam di antara tangan kami.

Mata sayunya seolah berbinar bak taburan bintang yang berkelip indah ketika terbias sinar rembulan yang tergaung di ujung lautan ketika menatap dengan pandangan yang terpaku tepat di dalam iris mataku.

Seluruh tubuh seakan mati rasa. Diriku terdiam selama beberapa saat karena merasa linglung dengan situasinya. Namun ia tertawa dan dengan nada bercanda mengatakan bahwa dirinya mengira aku bingung karena mencari keberadaan cincin yang seharusnya menjadi tanda seseorang ketika tengah melamar orang terkasihnya.

Tapi tidak, aku bahkan tak memikirkan sedikitpun tentang benda kecil penghias jari tersebut. Ucapannya adalah yang terpenting. Niat baiknya untuk mengajakku membuat janji sakral tersebut adalah alasan aku terdiam tak mampu berkata. Aku merasa begitu terharu, sekaligus tak menyangka akan hal itu meski kami memang berada dalam sebuah hubungan sebelumnya.

Aku tak tahu ia akan mengatakannya secepat ini mengingat kami baru memulai hubungan sekitar lima bulan yang lalu.

Setelah jeda yang cukup panjang, akhirnya aku mengatakan iya padanya. Dengan untaian air mata yang mengiringi suara gemetaran, aku menerima lamarannya. Bersedia untuk membuat janji sakral bersamanya.

Pelukan hangatnya mengantarku pada ledakan tangis yang makin menjadi.

Aku kalap. Rasa membuncah menguasai hingga aku tak dapat mengendalikan diri untuk tetap tenang.

Rasanya begitu bahagia ketika memori itu lagi-lagi datang.

Dan aku kembali meyakinkan diri bahwa diriku sudah mengambil keputusan yang tepat untuk menerima lamaran dari pria berpipi tembam yang sudah menemani hari-hariku selama beberapa bulan terakhir ini.

Dia orang yang tepat untukmu, Jina.

Kata itu terus tergumam di dalam hati. Mengiringi kesadaran hingga saraf motorikku akhirnya mau mengistirahatkan diri, tubuhku yang terbungkus selimut kelabu meringkuk dengan nyaman bersama kedua mata yang akhirnya terkatup sempurna, membawa serta diriku memasuki alam mimpi yang tak kalah indah. [][]

A/N Section

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

A/N Section

Ini hanya akan menjadi kumpulan momen antara Jimin dan Jina ya guys.. Jadi mungkin ga akan ada konflik atau jalan cerita yang panjang bahkan rumit. Ini cuman cerita tentang kebucinan di antara mereka ajah jadi ceritanya bakal aku bikin ringan ajah hehehe

PROMISE [Slice Moment]Where stories live. Discover now