3

2.5K 202 2
                                    

Ketika cinta yang menjadi pondasi dasar dalam rumah tangga. Saat itu tak ada alasan lagi untuk meragukan bahtera yang akan diarungi oleh dua insan yang telah berkomitmen atas nama agama dan negara.

Namun, rumah tangga yang Qila bina bersama Karanda tak pernah memasukan kata cinta. Atau belum?

***

Jum'at malam seperti Jum'at sebelum-sebelumnya. Mas Anda punya jadwal rutin. Apalagi kalau bukan futsal. Aku pernah sekali ikut dulu pas waktu pengantin baru.

Sebenarnya tadi Mas Anda ngajak aku. Tapi aku tolak. Males aja nungguin Mas Anda main sama temen-temenya satu jam lebih. Mana aku dicuekin kayak Rabu kemarin yang aku ikut Mas Anda hangout sama temenya. Iya, dia ketemu sama teman-temanya. Tapi bukan ceweknya seperti yang aku kira. Temanya cowok semua yang bahasanya amburadul. Sampai aku risi sendiri dan akhirnya menepi. Enggak lagi-lagi lah. Apalagi pas temen futsal Mas Anda nanya yang aneh-aneh.

"Gimana Abdi, mainya jago nggak?"

"Futsal aja dia jago mainya. Ngegolin terus. Apalagi sama istri." Komentar temen Mas Anda lainya sambil cekikikan.

Bukanya aku nggak tahu apa maksudnya. Aku udah dewasa mendekati kepala tiga. Udah paham itu menjurus kemana. Tapi yang membuat aku kesal, masak kayak gitu aja ditanyain, mulutnya itu lho, pada nggak disaring. Meski aku juga tanpa saringan kalau lagi ngomong ke Mbak Ayu, tapi kan sesama perempuan. Dan yang menjadi masalah di sini sebenarnya, ya you know lah, rumah tanggaku dan Mas Anda perjodohan dan tak memasukan kata cinta di dalamnya. Yang begituan masih jauh hilalnya.

Lain hal dengan teman kajian sesama teman hijrah Mas Anda. Mereka lebih sopan.

"Abdi-Qila, pelan-pelan aja. Kalian kan nggak pake acara pacaran-pacaran segala. Sekarang ini masa pacaran Kalian. Nikmati setiap moment yang Allah takdirkan buat Kalian. Dikasih momongan cepat Alhamdulillah. Enggak juga kudu sabar dan ambil hikmahnya."

Itu rentetan kalimat sambutan dari teman hijrah Mas Anda saat aku ikut kajian pertama kalinya setelah seminggu kami menikah. Dan saat itu pula aku tak enak luar biasa. Seperti salah kostum. Aku yang pake kerudung hanya buat sampiran. Sementara istri dari teman-teman Mas Anda mereka pada mengenakan gamis plus hijab lebar.

Sebenarnya nggak ada yang nyinyir sih di kajian itu dengan kostumku. Cuman, aku merasa malu sendiri dan saat Minggu besoknya aku diajak lagi sama Mas Anda aku jadi alesan ini dan itu.

Kebetulan tadi aku tolak ajakan Mas Anda ikut nonton dia futsal. Kalau nggak kan, aku nggak akan berada di sini sekarang. Aku berjalan santai sambil mata celingukan mengedarkan radar. Saat orang yang mengajak aku janjian tertangkap penglihatan, aku menghampirinya.

Aku bersalaman formal dengan orang yang mengajaku janjian. Dia mempersilahkan aku duduk di depanya. Rasanya degdegan man, duduk di depan laki-laki good looking plus perangkat desa. Mana kata mbak Harni tadi nih cowo masih single alias belum memiliki bini. Kapan lagi coba bisa cuci mata sambil kerja.

Eh.. ini masih termasuk kerja ya. Soalnya aku janjian sama dia untuk menyerahkan dokumen akta notaris yang dipesan. Tahu sendiri kan biasanya orang di desa akan menyerahkan borongan semua urusan birokrasi ke perangkat desa. Mereka tinggal terima jadi dan bayar saja. Rata-rata memang orang di desa puyeng kalau harus mengurus surat-surat birokrasi sendiri dan mesti harus ke sini dan ke situ. Kayak dilempar-lempar gitu. Aku juga gitu.

Untuk sedikit basa-basi aku terpaksa memesan minuman. Sekalian biar lama dikit aku memandangi manusia good looking di depanku ini. Aku sampai senyum-senyum sendiri. Aku menyeruput minumanku saat ada terdengar suara teriakan cempreng.

"Mbaak....." aku hampir tersedak.

Haa..? ngapain si Kunyuk ke sini. Duh, menggagalkan rencanaku untuk lebih mendekatkan sama manusia good looking di depanku. Kalau kaya gini ketahuan deh statusku.

MENGABDIWo Geschichten leben. Entdecke jetzt