Their Promise

Mulai dari awal
                                    

Yoo Jonghyuk hanya memberikan lirikan sekilas pada pelajar itu. "Aku tidak sakit," jawabnya tegas. Menegakkan punggung, seakan ingin menyakinkan pelajar itu.

Seandainya keadaan Yoo Jonghyuk tidak sekacau itu, orang lain pasti akan percaya dengan perkataannya.

"Pak, anda sepertinya sedang demam. Mari, saya akan mengantarkan anda ke Rumah Sakit," tawar pelajar itu dengan tulus.

Namun, Yoo Jonghyuk mengabaikannya, seolah pelajar baik itu hanyalah udara kosong.

Banyak orang yang membujuk Yoo Jonghyuk untuk pergi ke Rumah Sakit. Tapi, Yoo Jonghyuk dengan keras kepala menolak semua bantuan dari orang-orang yang prihatin melihat keadaanya, yang seakan bisa pingsan kapan saja.

"Aku tidak sakit, aku baik-baik saja. Keadaanku sekarang tidak ada apa-apanya dengan saat aku masih berada di medang perang. Demam begini masih bukan apa-apa," kata Yoo Jonghyuk akhirnya. Tidak tahan dengan satu-persatu kedatangan orang lain yang melihatnya dengan tatapan kasihan.

Yoo Jonghyuk benci tatapan itu. Dia akui dirinya memang sudah tua. Tenagannya tidak sama seperti saat ia masih berjaya dulu. Namun, bukan berarti dia pantas mendapatkan tatapan kasihan dari orang-orang yang sedikitnya telah melukai harga dirinya.

Setelah penolakan tegas itu, tak ada lagi yang datang untuk membujuk. Sepanjang hari Yoo Jonghyuk memaksakan diri untuk tetap sadar, hanya saja, staminanya benar-benar tidak sama seperti ia masih muda.

Ketika matahari benar-benar di atas puncak kepala dan hari itu saat musim panas. Sengatan hawa panas yang begitu menyiksa, menambah penderitaan Yoo Jonghyuk yang tengah demam.

Yoo Jonghyuk merasakan bila kepalanya yang sudah pusing sejak bangun tidur kian berputar, telinganya berdengung menyakitkan, ia terhuyung, tubuhnya limbung ke satu sisi, kemudian tak sadarkan diri.

Orang-orang yang ada di sekitaran situ segera membantu dan membawa Yoo Jonghyuk ke Rumah Sakit terdekat.

Yoo Jonghyuk tidak datang ke Stasiun selama dua minggu. Saat datang kembali, ia sudah dalam keadaan sehat sepenuhnya. Duduk lagi di bangku peron kesukaannya.

Selama Yoo Jonghyuk terbaring di rumah sakit, tak ada orang yang berani menduduki bangku peron itu. Mereka yang sudah sering melihat Yoo Jonghyuk, seolah menandai bangku peron itu sebagai hak milik pria paruh baya yang terkenal misterius.

Setelah sehat, Yoo Jonghyuk kembali ke rutinitas yang biasa ia lakukan; duduk berjam-jam lamanya di bangku peron, menatap ke arah barat, menunggu dengan sabar kedatangan lokomotif, berdiri saat kereta datang, memandangi setiap wajah orang yang baru turun, ketika tidak menemukan orang yang dicari, ia akan duduk lagi, makan pangsit saat jam makan siang, lalu menantikan lokomotif selanjutnya, bila sudah hampir tengah malam, pria paruh baya itu akan pulang, dan kembali lagi pada esok harinya.

Begitulah kegiatan yang Yoo Jonghyuk miliki setiap hari dan seterusnya.

Karena rasa penasaran yang sudah memuncak. Seorang remaja naif berjalan ke arah Yoo Jonghyuk. Walau sudah diperingati oleh teman-temannya, remaja itu tidak peduli. Sama sekali tidak mengindahkan peringatan. Dia benar-benar ingin tahu, siapa orang yang tega membiarkan Yoo Jonghyuk untuk menunggu dalam ketidakpastian.

Remaja itu berdiri di hadapan Yoo Jonghyuk, ia tau sikapnya sekarang tidak sopan, malah terkesan kurang ajar. Namun, hanya ini satu-satunya cara agar pria paruh baya itu mau memberikan sedikit perhatian.

Karena apabila dengan cara halus, remaja itu ragu Yoo Jonghyuk mau memperhatikannya, bahkan melirik saja pun mungkin tidak.

Yoo Jonghyuk hanya menatapnya melalui dari ekor mata. Tidak peduli.

He Loves Him🌌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang