04

3 3 0
                                    

The Story Behind Story

Part 4

Jemariku masih bergerak lincah di atas keyboard laptop. Ya, aku tengah bergelut untuk menyelesaikan novel projek terbaru yang saat ini sedang dikejar deadline untuk naik cetak. Tidak, lebih tepatnya Reynal yang mengejar-ngejar supaya aku segera menyelesaikan naskahku! Dasar, cowok itu memang benar-benar ....

Ah, sudahlah! Percuma aku terus menggerutu, merutuki sikap Reynal. Lebih baik aku fokus mencurahkan pikiranku kepada naskahku ini.

Tak terasa waktu cepat sekali bergulir. Rembulan sudah menggeser kembali sang mentari yang merajai siang. Sepertinya, aku harus berjuang lebih keras untuk menyelesaikan novel ini, mengingat apa yang aku alami selama proses penulisan. Sungguh, gangguan demi gangguan dari sesuatu yang tak kasat mata cukup menguras tenaga juga nyaliku! Belum lagi tekanan yang kudapat dari Reynal, makin membuatku stres!

Saat aku sedang fokus mengetik, tiba-tiba saja lampu kamarku padam. Ruangan yang tak begitu besar ini mendadak gelap gulita. Aku merasa jantungku nyaris lompat dari tempatnya saat ini juga. Meski ini bukan kali pertama aku mengalaminya, tapi tetap saja membuatku ketakutan.

Perlahan aku mengembuskan napas, mencoba mengalirkan ketenangan dalam diriku. Tidak. Aku tidak boleh panik. Tidak boleh juga kalah dengan rasa takut!

Kemudian, setelah berhasil mengumpulkan nyali, kuputuskan untuk beranjak ke depan, mengecek sekering listrik. Namun, baru saja hendak memutar kenop pintu, gerakan tanganku seketika membeku.

Suara keras dari luar kamarku, seperti bunyi daun pintu yang dihempas dengan kasar menimbulkan bunyi berdebam. Sontak membuatku terlonjak saking kagetnya.

 BRAKK

“Siapa yang membanting pintu begitu?” gumamku.

Jujur, jika mengikuti rasa takut, aku lebih memilih berdiam diri dalam kamar. Meringkuk di ranjang, berlindung di bawah selimut sampai fajar tiba. Tapi tidak, rasa penasaran yang begitu kuat mengalahkan ketakutanku.

Perlahan, aku membuka kenop pintu, gelap. Ya, di luar kamarku pun sama keadaannya, gelap gulita. Aku beringsut mengambil senter di atas nakas kemudian melangkah keluar kamar.

Tubuhku gemetar hebat, jika saja aku tidak memegang erat senter dengan tanganku, bisa dipastikan benda itu akan terlepas dari genggamanku.

aru beberapa langkah aku berjalan, sebuah suara memanggil namaku, lirih namun mampu menembus runguku dan sukses membuatku merinding!

“Biancaaa ....”

“Biancaaa ....”

“Biancaaa ....”

 Su-suara siapa itu?

Suara itu datangnya dari arah kamar Ayah yang biasa digunakan saat Ayah dinas kesini. Tapi siapa yang ada di dalam sana? Bukankah aku hanya seorang diri di rumah ini?

Kuteguk saliva guna membasahi kerongkonganku yang teramat kering. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku.

Dengan langkah berat, kuseret kakiku menuju kamar Ayah yang kosong. Dibantu cahaya dari senter, perlahan aku membuka pintu kamar. Gelap. Kurasa senter ini tidak cukup terang untuk memeriksa ruangan ini. Tapi kepalang basah, rasa penasaranku sudah berada di ubun-ubun rasanya!

“Bii ....”

Lagi, suara itu kembali terdengar diikuti hawa dingin yang melingkupi tubuhku. Ya, berasal dari ruangan ini. Bulu kudukku meremang seketika.

“Si-siapa?” tanyaku dengan suara bergetar menahan ketakutan luar biasa.

Tak ada jawaban. Sunyi. Hanya hawa dingin yang mendominasi. Pelan-pelan kuseret langkahku semakin masuk ke dalam ruangan. Entahlah, sepertinya ada yang mendorongku untuk menuju ke laci di meja kerja Ayah.

Ada apa di situ?

Dengan satu tangan memegang senter yang kuarahkan tepat pada laci, sedang tangan satu lagi bergerak untuk menariknya.

Sebuah map hitam kulihat tersimpan di dalam sana. “Apa itu?” Dengan gemetar, kuambil map tersebut, dan memindahkannya ke atas meja.

Aku menemukan beberapa lembar kertas di dalamnya, begitu map kubuka. Sepertinya, itu adalah catatan Ayah. Semakin bertambah besar rasa penasaranku, dan mulai kubaca lembar pertamanya. Namun, baru setengah membaca, mendadak hawa dingin semakin menjadi, kemudian disusul suara pintu tertutup dengan kerasnya.

BRAKK

Spontan atensiku teralihkan, tubuhku semakin gemetar hebat. _I-itu si-siapa?_ Kulihat sesosok lelaki berdiri di pojok ruangan dengan tatapan tajam terarah padaku.

Di-dia datang dari mana??

“Bianca ....”

Sosok itu memanggilku, suaranya cukup membuat bulu kudukku merinding. Dari mana dia mengeta

Tunggu. Sepertinya wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Tapi siapa?

Otakku terus kupaksa bekerja dengan keras untuk mengingatnya. Hingga nama seseorang muncul dalam benakku. Ya, satu nama yang foto masa kecilnya bersanding denganku di bagian atas outline cerita dalam laptopku.

“B-Bryan? Be-benarkah itu Kakak? Kak Bryan?” Labiumku mengucapkan satu nama yang diingat oleh otakku. Tapi benarkah itu dia? Kakakku Bryan yang telah tiada.

Aku masih teramat kecil waktu itu. Saat kakakku dinyatakan meninggal dunia. Memori masa kecilku teramat lemah untuk bisa kuingat dengan jelas.

Lelaki itu perlahan mengangguk dengan wajah pucatnya yang begitu datar, tanpa ekspresi.

“Kak Bryan,” lirihku. Air mataku tiba-tiba saja sudah meluncur membasahi pipi.

“Biii ... tolong,” ucapnya, masih dengan ekspresi datar.

“Tolong? A-apa yang bisa Bi bantu, Kak?” suaraku bergetar saat mengucapkan itu.

“Keadilan,” satu jawaban yang terdengar absurd untukku. Keadilan? Keadilan apa yang Kak Bryan maksud?

“Maksud kakak apa? Bi nggak paham, Kak,” tanyaku bingung.

Kak Bryan mengarahkan telunjuknya pada map yang terbuka di atas meja. “Baca.” Hanya itu yang ia ucapkan, setelah itu gorden kamar tersingkap dengan sendirinya, diikuti dengan menghilangnya sosok kakakku serta diikuti angin yang berhembus kencang, entah dari mana asalnya.

“Kak! Kak Bryan!” teriakku sambil mengedarkan pandang ke seluruh ruangan, dengan dibantu cahaya minim dari senter yang masih kugenggam erat.

 Hhhhh

Aku terjaga dengan tubuh bercucuran keringat!

 Shit! Aku mimpi rupanya.

Napasku masih tersengal-sengal. Mimpi serasa nyata rasanya. Seperti aku benar-benar berinteraksi dengan Kak Bryan tadi.

“Tunggu, jadi ... mungkinkah yang selama ini menerorku dengan gangguan-gangguan itu adalah arwah Kak Bryan?” Aku bermonolog.

Saat telah berhasil menguasai diri setelah mimpi barusan, dengan gerakan tergesa, aku menyingkap selimut dan menyeret langkahku menuju kamar ayah. Entahlah, aku merasa mimpi tadi seperti sebuah ... petunjuk?

Kakiku telah berhasil membawaku sampai di kamar ayah. Laci meja kerjanya yang menjadi incaranku kini. Tanpa membuang waktu, segera kutarik laci tersebut dan benar saja. Persis seperti dalam mimpiku, sebuah map hitam tersimpan di sana!

Segera saja kuambil map tersebut dan menaruhnya di atas meja. Seperti de javu! Lembar pertamanya telah kubaca, dan sama persis seperti yang ada di mimpiku. Kemudian, potongan-potongan berita tentang kebakaran yang terjadi dua puluh tahun silam tersimpan rapi di sana. Lalu, sebuah catatan yang ditulis oleh ayah, membuatku seketika membeku di tempat. Aku benar-benar shock!

Bagaimana tidak, jika dalam catatan itu tertulis beberapa nama yang menjadi korban kebakaran. Satu fakta yang baru sekarang kuketahui! Air mataku makin deras saja luruh, bermuara pada pipiku.

TBC

 
Vina  (LovelyVie) LovelyVie

The Story Behind The StoryWhere stories live. Discover now