"Okeh, kenalannya udah. Sekarang kita mulai pembentukan ketua dan antek-anteknya."

Talia menuliskan beberapa jabatan yang sekiranya sangat dibutuhkan dalam kegiatan wajib ini, "yang pertama, siapa yang mau jadi ketua?"

Semuanya tampak diam, memilih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sibuk dengan ponselnya, kameranya, buku panduan, hingga ada yang sekedar melihat kiri kanan sebagai pengalih perhatian.

"Ketua..."

Tetap, tidak ada yang menggubris ucapan Talia. Bahkan Renan yang tadi bersemangat pun memilih mengobrol dengan Sella yang ada di sebelahnya. Talia tau, rupanya mereka enggan di amanahi jabatan-jabatan tersebut. Padahal menurut Talia jabatan itu hanya formalitas semata. Sisanya akan mereka kerjakan bersama-sama.

"Kalau gitu gue pilih aja. Gimana kalau ketuanya Hilman?"

Hilman yang mendengar namanya dipanggil tentu saja panik. Ia tidak setuju dengan keputusan sepihak yang dilontarkan Talia. Lagi pula Hilman tidak ada pengalaman berorganisasi, hal itu cukup mempersulitnya dalam bersosialisasi, pikir Hilman sih begitu.

"Jangan gue, gue nggak bakat jadi ketua. Mending gue sie konsumsi aja."

"Mana ada sie konsumsi. Tapi kalau pun ada gue juga mau," sahut Sella pelan.

"Gue sih sebenernya bisa jadi pengurus kayak gini. Tapi kalau buat ketua nggak dulu deh. Terlalu berat buat gue..." Jendra tiba-tiba berucap sembari memandangi kertas yang ada pada Talia.

"...Kalau wakil masih boleh."

"Yang lain gimana?"

"Yaudah Jendra aja. Emang kita perlu apa lagi?" tanya Yesmin.

"Ketua, wakil, sekretaris, bendahara."

"Tal, lo anak akuntansi kan? Mending lo jadi bendahara," Jev kembali berucap setelah mengalihkan perhatiannya dari kamera miliknya. Sementara Talia hanya mengangguk sebagai jawaban atas pernyataannya yang Jev berikan.

"Lo anak administrasi publik kan? Lo mungkin bisa kalau jadi sekretaris," Jev kembali berucap, kali ini yang ia maksudkan adalah Karin. Menurutnya jurusan yang diambil Karin sangat cocok untuk pekerjaan sekretaris.

"Boleh, gue juga pernah ada pengalaman jadi sekretaris di jaman SMA dulu," ucap Karin yang tanpa sadar menarik perhatian seseorang yang tidak jauh darinya.

"Berarti tinggal ketuanya nih?"

"By the way, gue baru inget di sini ada mantan ketua hima."

"Hil, lo serius? Wahh kebetulan banget nih kalau gitu."

"Iya, gue serius. Lumayan kan kalau dia jadi ketua. Seenggaknya udah ada yang bisa dipercaya buat ngurus semuanya."

"Ya nggak ngurus semuanya juga..." dengus Renan kesal. Pasalnya dalam kelompok meskipun ada ketua tetap harus diselesaikan sama-sama kan?

"... Yaudah, biar gue yang jadi ketuanya."

"Nahhh gitu kek dari tadi. Kalau gitu kan gue bisa cepet pulang," bukan Hilman melainkan Yusuf. Laki-laki itu sudah berniat mengambil tasnya untuk segera pamit undur diri. Tapi niatnya gagal saat ucapan Jendra mengintruksi, "siapa bilang boleh pulang. Kita masih harus bahas terkait proposal."

"Yahhh kirain udah," keluh Shasha. Padahal perempuan itu baru saja merasa senang karena bisa segera pulang. Namun harapannya dipupuskan seketika.

"Tenang aja, bentar lagi kita selesai..." Renan menjeda perkataannya dan menarik nafas dalam-dalam.

"...Okeh karena gue dipercaya sebagai ketua KKN kelompok ini. Jadi gue mau bahas soal proposal yang udah kalian bahas di awal pertemuan kita yang tadi. Menurut gue sebelum kita buat proposalnya, kita lebih baik survei dulu ke Desa Weringin. Kita cari tau kira-kira apa yang kurang dari desa tersebut. Kita nggak perlu ngadep langsung ke lurahnya cukup ke warganya aja dulu. Nah kalau udah baru kita pilih program wajib apa yang bakal kita ambil. Dan setelah itu kita bisa buat proposalnya untuk disetujui sama Pak Jarot. Gimana? Ada yang keberatan?"

Mereka semua terdiam, menatap satu sama lain. Mencoba mencari apa yang sekiranya kurang dari penjelasan Renan. Namun hingga satu menit tidak ada yang bersuara.

"Kalau nggak ada, kita kumpul lagi sabtu besok buat survei langsung ke lokasi."

"Ren, kalau sabtu besok gue nggak bisa. Lagi ada ujian." Renan lupa kalau ternyata salah satu anggotanya ada mahasiswa kedokteran yang selalu sibuk kapan pun.

"Gapapa, Jeng. Lagian ini survei biasa kok. Nggak semuanya harus ikut. Kalau kalian ada halangan bilang aja. Tapi gue harap jangan ada yang nyari-nyari alasan."

Di detik ini mereka semua mulai berpikir kalau perjalanan ini akan panjang dan mungkin juga melelahkan. Hanya bertemu sehari saja mereka bisa membayangkan berapa banyak tahapan-tahapan yang harus mereka lalui ke depannya. Belum lagi rintangan yang ada. Semoga saja semuanya bisa berjalan dengan mudah dan sesuai rencana.

‎      ‎    ‎

To be continued...

‎      ‎    ‎
***

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Stay safe semuanya❣️

Salam hangat,
‎    ‎    ‎
‎      ‎    ‎

Dia.

Dear, KKNWhere stories live. Discover now