33

2K 108 1
                                    


Seminggu setelah deklarasi Nick tentang perasaannya, aku jadi lebih sering lihat Fransisca datang ke rumah sakit. Entah hanya sekedar mengganti bunga layu di kamar rawat Nick menjadi segar kembali, atau hanya menemani Nick menjalankan terapi, atau bahkan hanya untuk ngajak ngobrol. Hal-hal kecil yang aku bener-bener yakin udah buat Nick jadi lebih yakin sama perasaannya.

That he still love her.

Aku seneng, pasti. Tapi rupanya kesenengan aku itu ga ada apa-apanya dibanding manusia aneh bernama Alvero.

"dia sama Sisca jadian?" tanya nya saat kita menjenguk Nick dan melihat sudah ada Sisca di kamar Nick.

"gatau." bisikku pelan, karena gamau kalau perbincangan aku sama Alvero sampai didengar orang yang lagi diomongin.

"hih tanya gih!" ucapnya memaksa. Ah, dengan suara normal.

"Tanya apaan?"

Itu bukan aku. Itu Nick.

"hah? engga ko-"

"itu kata Fenny lo bedua emang jadian apa gimana?"

Vero emang kayak tai.

Aku memaksakan tawa sambil mencubit pinggangnya, "heehehe gue? gue nanya gitu ya? kok gue ganyadar ya hehehehe"

Dengan mudah, Vero menahan tanganku dan menggenggamnya, mengangkatnya sambil mengangkat jari telunjuknya sendiri dan menempelkannya dibibir.

Memberikan kode supaya aku diam dan melihat bahwa Nick dan Fransisca sedang saling menatap penuh arti.

Aku mengerti. Maka secara otomatis aku tersenyum. Vero melakukan hal yang sama, berdehem lalu berpamitan pulang. Seakan paham bahwa waktunya tepat untuk meninggalkan mereka berdua.

Setelah keluar dari kamar rawat Nick, Vero ga ada henti-hentinya bersenandung.

"Kenapa sih? Seneng amat." ucapku, jengkel karena dia makin-makin keras.

Dia malah cengengesan, "iya dong. Saingan gue ngurang."

Aku mengernyitkan kening, "maksud?"

"Yagitu. hehehe. Apasih jelek banget lo ngerutin kening kayak gitu. Kayak nenek-nenek!"

Aku memukulnya. "sialan. Cantik gini dibilang kayak nenek-nenek."

"dih. Cantik dari jonggol."

"Lo nyebelin banget etdah."

"hehehe iyadeh Fenny cantik banget aku sampe gatahan."

"VERO!"

Vero tertawa, begitupun aku.

Tapi begitu sampai didepan rumah sakit, aku melihatnya.

Gusti.

Langkah dan tawaku berhenti ketika mata kami bertemu. Begitupun dengan langkahnya. Matanya menelusuriku dari atas sampai bawah, lalu berhenti pada lenganku.

Awalnya aku ga sadar, tapi begitu aku melihat tanganku masih digenggam erat oleh Vero, otomatis, aku berusaha melepaskannya.

Tapi Vero sama sekali ga ngelepasin tanganku. Dia sama sekali gapernah lepasin aku. Dia justru semakin mengeratkannya.

"Kalian.." dia hendak bicara sesuatu, namun mengalihkannya dengan hal lain. "Fransisca ada disini kan?"

Tahu aku akan susah bicara dengan manusia satu itu, Vero menjawab, "Ya."

"bagus. Dia harus balik sama gue." ucapnya lalu hendak melangkah melewati kita.

Dan tentu saja dicegah oleh Vero. "Kenapa dia harus balik sama lo?"

Gusti menatap Vero tajam. Sangat tajam. Melebihi tatapannya sewaktu di resto. Gusti tidak pernah sekalipun menunjukkan ekspresinya yang satu itu dihadapanku sebelumnya.

"Kenapa lo bilang? Karena dia cewek gue!"

Bam. Satu lagi pukulan keras menimpa hatiku.

Kurasa secara tak sadar tanganku meremas tangan Vero, karena Vero juga melakukan hal yang sama. Seakan memberitahukanku untuk tetap tenang.

"Trus pas lo bilang seseorang harus balik, orang itu harus balik gitu? Trus, lo kemana pas cewek digenggaman gue ini minta lo balik?!"

Aku semakin menguatkan peganganku pada tangan Vero. Keringat dingin mulai terasa merembes telapak tanganku.

Gusti diam mematung.

"Cowok brengsek kayak lo, ga berhak dapetin Fenny ataupun Fransisca. They're too good for you. So fuck off."

Tanpa menunggu jawaban Gusti lagi, Vero menarikku ke tempat parkir, meninggalkan Gusti yang berdiri mematung.

Semenjak hari itu, Gusti sempat memintaku bertemu beberapa kali. Suaranya saat menelponku benar-benar terdengar putus asa dan menyesal.. tapi aku memutuskan untuk tidak menemuinya dengan sengaja. Biarkan saja.

Orang yang sudah melepasku sekali, aku tak ingin membiarkannya mendapatkan kesempatan melepaskanku untuk yang kedua kali. Maka, biarkan saja.

Dan ketika kuingat genggaman Vero yang hangat dan meyakinkan, aku semakin ingin memberikan diriku sendiri kesempatan.

Kesempatan untuk tidak merasa dilepaskan lagi.

Between You And MeOù les histoires vivent. Découvrez maintenant