Perlahan Raka ikut duduk ke lantai. Dia menatap Remi yang masih menenangkan Radi dengan pandangan menyesal. "Maafkan aku, Kak. Seharunya aku mendengarkan penjelasan Kakak." Raka menunduk menyesal, dia benar-benar sial karena langsung percaya ucapan Arkan. Raka juga merasa benar-benar bodoh karena dengan percaya diri memberi Bumi wejangan. Padahal lelaki itu tidak berniat menikahi Kakak perempuannya.

Mengaruk rambutnya berulang kali, Raka segera menatap Remi begitu teringat sesuatu. "Tapi, Kak sekarang kita harus bagaimana? Ibu dan Ayah terlihat sangat senang saat mendengar Bang Bumi melamar Kakak," kata Raka menatap Bumi dengan mata kebingungan. "Mereka tersenyum sangat bahagia, dengan  pancaran mata berharap. Gara-gara itu juga mungkin Bang Bumi gak tega untuk menyangkal."
Raka melanjutkan, tapi kali ini cukup pelan. Dia tidak mau Remi marah hanya karena dia terkesan membela Bumi.

Sumpah, dia tidak membela lelaki bangsat dan pembohong itu. Selain bangsat dan pembohong, Bumi juga pengecut tidak berani berbicara jujur. Meski kejujurannya akan menyakiti beberapa orang, tapi tidak masalah karena bisa segera disembuhkan.

Namun, jika Ayah dan Ibunya bersedih. Raka juga tidak tega melihatnya, dia pasti akan marah-marah. Sepertinya sikap Bumi sudah benar, siapa sih yang bisa menyakiti hati wanita dan lelaki yang sudah memasuki usia senja mereka. Dia juga akan melakukan hal yang sama jika berada di pihak Bumi, apalagi jika keduanya saling mengenal cukup lama.

"Sial. Aku pusing!" Raka lagi-lagi mengumpat. Dia bingung dengan diri sendiri, sebenarnya dia ini membenci Bumi atau membela lelaki itu karena tidak menyakiti hati Ibu dan ayahnya.
Terserah lah, dia tidak tahu harus melakukan apa.

Raka kembali menatap Remi, lalu dia membeku melihat kakak perempuannya tengah menciumi kepala Radi dengan mata berkaca-kaca. Tampak begitu menyedihkan dan membuat hatinya sakit. Mengepalkan tangan, Raka berlutut di hadapan Remi yang masih tetap terduduk di lantai. "Kakak tenang saja, ya.  Biar aku yang memberi penjelasan untuk Ibu dan Ayah. Aku juga yang akan menghubungi keluarga Bang Bumi untuk menyuruh mereka membatalkan kunjungan," kata Raka penuh tekad.

Raka tidak bisa terus terdiam, dia memang sangat menyayangi Ayah dan Ibunya, dia juga tidak tega melihat mereka sedih berkepanjangan. Tetapi Raka tidak mau mengorbankan Kakak perempuannya. Dia tidak mau Remi terjebak dengan masalah yang sudah dibuat Arkan. Ah, ingatkan dia untuk memberi pelajaran pada adiknya itu nanti.

Masalah kesedihan Ibu dan Ayahnya biar mereka semua yang tanggung. Dia yakin setelah diberi penjelasan dan waktu, Ibu dan Ayahnya akan berhenti bersedih. Lagi pula Raka yakin, Ibu dan Ayahnya akan terluka semakin parah jika tahu kesalahpahaman ini belakangan. 

Dari pada Ibu dan Ayahnya menyalahkan diri sendiri di masa depan, lebih baik dia menghilangkan senyum dan harapan kedua orang tuanya hari ini juga.

"Terima kasih. Kakak sangat berharap padamu," kata Remi sedikit bisa bernapas lega. Dengan bantuan Raka, Remi yakin masalahnya akan cepat selesai.

"Serahkan semuanya padaku, Kak. Aku tidak akan mengecewakan Kakak. Begitu Mama pulang, saat itu juga aku akan langsung memberi penjelasan."

Remi mengangguk cepat, sangat-sangat berterima kasih karena Raka mau membantu. Menghadapinya sendiri dan berdua, akan terasa sangat berbeda.

Setelah itu Remi menunggu Ibunya pulang bersama Raka dan Radi dalam kegelisahan. Dia mencoba menghubungi ibunya, tetapi tak angkat begitu pula saat dia menghubungi Arkan, yang pergi bersama Ibunya. Entah apa yang sedang mereka lakukan, kenapa tidak ada satu pun jawaban.

Remi sudah bergerak ke sana-sini saat akhirnya suara mobil berhenti di halaman. Segera dengan gerakan cepat dia berlari keluar.

"Loh, Remi ada apa?" tanya Ina begitu melihat Remi menyambutnya di parkiran. Tidak biasanya Remi bersikap seperti ini. Apa karena Remi tidak sabar ingin mendengar berita yang belum sempat dia ceritakan. "Kamu dari tadi menunggu Ibu, ya? Maaf ya, Ibu pergi gak bilang-bilang. Soalnya Ibu perlu membeli banyak sekali barang. Sejak dulu keinginan Ibu tuh kalau menyambut calon besan semua makanan dan tempat tertata dengan sangat baik sampai sulit di lupakan." Ibunya tertawa saat menceritakan keinginan kecilnya. "Tetapi karena acara ini mendadak, Ibu cuma bisa beli beberapa hal saja. Sekarang yang penting semua berjalan lancar."

Enam Tahun KemudianDove le storie prendono vita. Scoprilo ora