Bab 8 - Seratus Persen

103 3 0
                                    

Sita menangis tersedu-sedu, sedangkan Bryan meninju dinding hingga buku-buku tangannya terluka dan berdarah. Wajahnya terlihat pucat ketika menyadari ia telah melakukan sebuah kesalahan fatal.

"Anggap saja ini kesalahan. Maafkan, aku telah khilaf," ucap Bryan, menatap wanita di depannya. "Aku pergi," lanjutnya. 

"Mas harus bertanggung jawab," isak Sita.

Bryan membuka pintu dan kembali ke kamarnya sendiri. Ia menjambak rambut, kepalanya mendadak terasa pusing. 

'Bodoh! Mengapa tidak dapat menahan diri. Apa yang harus aku jelaskan pada Lynn nanti,' batinnya gundah.

Sementara itu, Sita menghapus air mata lalu tersenyum. Ia hanya pura-pura menangis. Yang penting, Bryan sudah berada di tangannya walau ia harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga. 

'Akan kupastikan Lynn mengetahui semua perbuatanmu ini, Bryan. Sudah saatnya wanita itu pergi dari kehidupanmu,' gumamnya sambil tersenyum licik.
_____
Lynn masih berada di Bali. Sedikit demi sedikit, ia mulai mengambil jarak dari Kenrich. Mereka masih terikat pekerjaan hingga Lynn tidak dapat pergi begitu saja. Kenrich sendiri merasakan jika cinta pertamanya mulai mengambil jarak. Ia hanya dapat menghela napas sambil terus bertekad memperjuangkan cinta. Apalagi, lelaki berkarisma itu tahu jika mertua Lynn tidak menyukai menantunya tersebut. 

Lynn menghubungi Azka. 

[Az, kamu di mana?]

[Kamar. Ada apa, Lynn?]

[Aku ke sana, ya.]

[Hm.]

Lynn segera menuju ke kamar Azka. Ia mengetuk pintu dan lelaki kepercayaannya membukakan pintu dengan wajah mengantuk.

"Kamu tidur jam berapa? Az, kamu sakit? Wajahmu terlihat pucat," tanya Lynn menatap Azka. 

Wanita yang sedang ada masalah dalam rumah tangganya tersebut, mendekat dan memegang dahi Azka. 

"Kamu demam, Az. Ayo, ke dokter sekarang!" tukas Lynn, gelisah. 

Selama ini, Azka tidak pernah sakit. Daya tahan tubuhnya sangat kuat. Itulah sebabnya Lynn menjadi panik. Azka menolak untuk pergi ke dokter. Lynn segera menghubungi pihak hotel agar dapat mengirim dokter hotel untuk memeriksa Azka.

"Aku tidak apa-apa, Lynn. Hanya kurang tidur saja. Duduk dan tenanglah. Kamu mondar-mandir seperti setrikaan–membuat kepalaku tambah sakit," ucap Azka, tersenyum.

"Az, apakah Bryan menghubungimu?" tanya Lynn, pelan.

"Kamu masih blok dia? Lelaki bodoh itu tidak menghubungiku sama sekali. Merindukannya, heh?" tanya Azka.

"Aku masih blok karena takut kecewa. Ternyata dia sama sekali tidak menanyakan kabarku," gumam Lynn, pedih.

Azka mengembuskan napas. "Sudahlah, jangan pikirkan lelaki tidak berguna itu. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan Kenrich?" tanya Azka, ingin tahu Lynn akan terbuka atau tidak padanya.

"Kami …."

"Apa yang terjadi?" tanya Azka.

"Dulu, aku dan Ken pernah menjadi sepasang kekasih, Az. Kemarin ia mengatakan masih mencintaiku dan akan membawaku pergi jika Bryan menyia-nyiakan aku," ucap Lynn.

Ia tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Azka walau status lelaki tampan itu sebagai karyawannya. Mereka sudah dekat sejak kecil. 

"Kamu masih mencintainya? Lebih mencintai Kenrich atau Bryan?" Azka merasakan hatinya sakit ketika menanyakan hal tersebut. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 25, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Trauma Dini HariWhere stories live. Discover now