"Sejujur gue pernah lihat Kak Junkyu minum itu."

"Kapan?" Junghwan dan Jihoon menatap Jaehyuk.

"Itu.. gue nggak tahu sih efeknya apa, tapi dia sering minum itu di jam-jam kayak mau tidur ataupun setelah makan pun dia minum."

"Obat apa?"

"Kalau itu mah gue nggak tahu, tanya aja sama Kak Junkyunya sendiri, atau nggak sama Asahi. Mungkin aja dia tahu."

Jihoon mengangguk saja, ia lalu melangkah ke arah sampah dapur. Ia hendak membuang sampah-sampah sisa kemarin, namun pergerakan tangannya terhenti saat menemukan sesuatu.

"Ini—"

"Gue tanya aja ya sama Asahi—"

"Nggak usah. Gue tahu."

"Hah?" Jaehyuk menatap bingung Jihoon.

"Gue tahu. Dumolid."



























































Doyoung menatap jam di sampingnya, ia dapat melihat bahwa ini sudah jam 1 siang. Namun, tetap saja tak ada satupun yang terlintas di pikirannya tentang rencana.

Ia merasa bahwa hidupnya sekarang hampa.

Awalnya ia pikir ini semuanya adalah mimpi, tapi saat melihat luka di lengannya. Ia terkekeh, ternyata benar, bukan mimpi.

Tok Tok Tok

"Kak Doyoung, gue boleh masuk?"

Doyoung hanya berdehem menjawabnya, ia dapat melihat Haruto yang masuk ke dalam kamarnya dengan wajah datar.

"Keadaan lo baik, Kak?" tanya Haruto.

"Ya menurut lo aja, Hartono, gimana keadaan gue."

"Please, Kak. Hartono siapa? Elo punya temen baru atau gimana?"

"Udah nggak usah basa-basi. Lo ke sini mau ngapain?"

"Lah kan elo dulu yang sok basa-basi. Lo pasti mau coba melucu pakai ngubah nama gue tapi garing kan?" tebak Haruto yang minta disleding Doyoung. Untung aja lengan Doyoung sekarang lagi luka, kalau nggak, ya sama aja sih. Doyoung mana berani lawan Hartono.

"Udah, cepetan lo mau ngomong apa? Pasti ada sesuatu nih."

"Ya elah, Kak. Emangnya gue kalau ke kamar lo harus ada sesuatu?"

"Bukan harus ada sesuatu, tapi elo emang kalau ke kamar orang pasti ada sesuatunya!" Doyoung ngegas. Sejujurnya sudah lama sekali Doyoung tidak bicara pada Haruto berdua, ia merasa jarak antara Haruto dan dirinya semakin jauh. Keduanya emang tidak canggung, keduanya juga tidak saling membenci, tapi bukan berarti keduanya saling menyayangi.

"Kak, kalau misalnya selanjutnya yang dibunuh gue gimana?" tanya Haruto tiba-tiba. Laki-laki itu terkekeh sebentar. "Tapi nggak apa-apa sih, itu lebih baik daripada terus hidup dan lihat satu-persatu dari kalian mati ninggalin gue."

"Lo ngomong apaan sih?"

"Maafin gue, Kak. Masalah tempo hari, pas hari Kak Mashiho diculik."

"Please deh, ini lo ngomong kayak orang mau mati, tahu nggak?"

Haruto tersenyum tipis menatap Doyoung. "Lo sayang sama Kak Junkyu kan, Kak? Gimana misal kalau gue bunuh Kak Junkyu?"

"Sinting, harusnya lo fokus cari pembunuhnya, bukan malah mau bunuh Kak Junkyu."

Haruto lagi-lagi hanya terkekeh.

"Kita lihat aja ya Kak, di antara gue dan Kak Junkyu. Siapa yang bakalan mati duluan."















































Sejujurnya Yoshi tidak punya tujuan di manapun. Yang ia lakukan hanya mengendarai motor hitam milik Doyoung ke manapun hatinya mau.

Pada akhirnya, Yoshi memilih taman, tempat di mana terakhir kali Yoshi pergi ke sini hanya untuk menemani Haruto. Laki-laki itu mendudukkan dirinya di salah satu bangku taman.

Yoshi menatap seseorang yang sedang berjalan ke arahnya.

"Permisi, kamu tahu anak saya ini nggak? Tingginya—"

"Enggak." Yoshi dengan ketus memotong ucapan seorang pria paruh baya yang baru saja menanyakan putrinya, sepertinya putrinya itu hilang. Pria paruh baya itu hendak memberikan selebaran untuk Yoshi namun lagi-lagi laki-laki itu menolaknya langsung.

"Sejujurnya, saya siap kok kalau putri saya ditemuin dalam keadaan meninggal."

Yoshi menoleh ke arah pria paruh baya yang baru saja berbicara. Yoshi tentu saja kaget, ayah mana yang berbicara seperti itu jika putrinya sedang hilang?

"Jangan tatap saya seperti itu. Saya hanya bersiap untuk kemungkinan terburuknya, kamu tahu nak, di dalam dunia ini selalu ada kemungkinan terburuk dan kemungkinan terbaik."

"Bapak, jangan bicara sama saya."

"Maaf, Bapak hanya perlu pendengar hehe. Nggak papa kok kalau misal kamu nggak mau respon, seenggaknya saya udah ada yang dengerin."

Yoshi sungguh-sungguh tak mengerti sekarang. Jadi ia memilih menghiraukan orang di sampingnya itu dan memainkan ponsel.

"Oh, itu istri saya. Kalau gitu saya pergi dulu ya. Anak baik kayak kamu pasti banyak temen, kalau gitu bersenang-senanglah."

Yoshi melihat pria paruh baya itu berlari ke arah istrinya dengan tersenyum manis. Padahal sedetik lalu wajahnya sangat lesu saat bersama Yoshi. Jadi, apakah ini yang dinamakan pura-pura?

Yoshi tersenyum kecut. Kapan ya terakhir kali Ayahnya memberitahunya bahwa ia adalah anak baik?

"Anak baik apa sih."

Drrt Drrt

Yoshi meraba ponselnya yang bergetar, ia tersenyum lebar saat melihat siapa sang penelepon. Nama panggilan yang sudah lama sekali tidak ia ucapkan.

'Mom'

"Ma—"

"Yoshi, kalau kamu mau ke rumah cepetan. Mama cuman punya waktu setengah jam besok. Kalau nggak datang, Mama nggak tahu bisa nemuin kamu kapan lagi. Jadi pastiin datang ya."

Tut.

Panggilan telepon tersebut dimatikan. Sejujurnya Yoshi juga tidak tahu mengapa ibunya selalu bilang bahwa ia tak bisa menemui Yoshi, tidak ada waktu lah atau apapun.

Saat Yoshi bertanya, jawabannya selalu saja tidak jelas dan berganti-ganti. Jadi Yoshi hanya dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya, ibunya tidak mau menemuinya.

"Besok, setengah jam."























Crafty | Treasure ✔Where stories live. Discover now