bag 7. Acuan

175 27 0
                                    

Entah waktu itu aku mempunyai keberanian darimana tiba tiba berani menjambak ibu ibu menyebalkan itu. Aku hanya kesal pada ibu tersebut yang seenaknya menggunakan kekuasaan orang lain. Kalo saja keponakannya tau tantenya seperti ini, sudah pasti dia akan malu tujuh turunan dan bingung harus diletakkan dimana wajahnya.

Selain itu, aku juga kesal kepada orang orang berseragam yang mengatur jalan. Kenapa sangat sabar menghadapi ibu dakjal seperti itu. Mungkin untuk menjaga nama baik instansi. Tapi itu sudah sangat keterlaluan dan diluar batas wajar.

Aku jadi ingat sekali kata kata yang Mas Satya ucapkan saat aku mengomelinya karena dia berusaha untuk sabar dalam menangani ibu tersebut. Kata kata tersebut akhirnya menjadi acuanku hingga sekarang.

"Saya hanya rakyat biasa juga berani buk."

Ibu tersebut tidak terima ketika aku yang datang tiba tiba langsung menjambaknya tanpa ampun. Dia berteriak seperti orang kesetanan lalu ikut menjambak rambut sebahuku. "BERANI KAMU SAYA LAPORIN KAMU SAMPAI MASUK PENJARA!!!" bentaknya sekaligus mengancam. Dipikir takut.

"Sialan!!!" teriakku mengumpat. Sungguh jambakan ibu tersebut bukan main main. Lebih baik di tinju daripada di jambak seperti ini. Rasanya seperti kulit kepala akan lepas dari tengkoraknya. "Arghhhh," teriakku melampiaskan rasa sakit di kepalaku. Lalu aku mencakarnya agar dia berhenti tapi naas, ibu berpunuk unta itu justru mencakarku balik.

Para petugas langsung mengerumuni kami berdua untuk memisahkan kami yang sudah menjadi tontonan banyak orang. Mereka mengaku sulit, karena kami berdua sama sama tidak mau di pisahkan. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian kami terpisah sendiri karena ibu tersebut sudah lelah dan tidak kuat menahan sakit karena jambakanku. Sekaligus menangis karena cakaranku yang tidak main main.

Aku duduk di kursi halte sambil mengerucutkan bibirku. Kepalaku masih nyut nyutan sekaligus panas karena jambakan tadi. Tatapanku tajam menatap ibu ibu si pembuat ulah yang masih nampak menangis di mobilnya sambil di obati oleh petugas dishub wanita. Giliran sudah babak belur kaya gitu langsung diem di hadapan petugas.

Benar benar menyebalkan.

Saat aku masih dendam menatap ibu ibu berkerudung biru itu, seseorang berseragam polisi menghalangi pandanganku. Aku mendongak dan iris mataku langsung berhadapan dengan iris mata tajam itu, Mas Satya. Segera aku memalingkan pandanganku dari matanya yang tajam ke name tag namanya. Satya Utkarsh, ini pertama kalinya aku mengetahui nama lengkapnya.

Aku membiarkan lelaki berbadan tegap itu duduk di sampingku. Karena jarak kami yang terlalu dekat, aku bergeser ke samping sedikit. Dia menghembuskan nafasnya perlahan lelah lalu menatapku, sedangkan aku hanya bisa meliriknya melalui ekor mata.

"Hadap saya," ujarnya menekan. Aku masih diam enggan menuruti permintaannya.

Dia mendengus lalu menghadapkan tubuhnya padaku. Tangannya memegang kedua pipiku agar aku menatap wajahnya. Jari jempol nya bergerak mengusap pipiku yang terasa perih. Mungkin saja berdarah karena cakaran ibu dakjal itu.

Aku memundurkan wajahku agar dia tidak menyentuhku tetapi nihil. Sekalipun mundur, tangannya tetap melekat di kedua pipiku. "Ini ndan." Ucapan salah satu anggota Mas Satya membuat lelaki berbadan tegap itu mengalihkan pandangannya dariku.

Mas Satya mengangguk lalu mengambil benda yang kuyakini obat obatan dari anggotanya itu. "Terima kasih," ujarnya. Anggotanya menunduk sebentar lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Satya berdua saja.

Devina dan Dewa? Mereka sedang berada di cafe memesan minuman untukku. Sebenarnya mereka berdua tidak ingin meninggalkanku disini tetapi Mas Satya yang menyuruh mereka berdua untuk membeli minum. Sementara dia sibuk mengurusi ibu ibu yang habis kucakar tadi barulah setelah itu memberikan tanggung jawab itu pada yang lain dan beralih padaku.

Dibalik Bina [#1.BSS] [Terbit E-book]Onde histórias criam vida. Descubra agora