"ARAAAAA!!" Teriakkan memekikkan itu membuatku terdorong jauh. Aku rasakan tubuhku terhempas ke sebuah tempat yang tidak tahu di mana, karena hanya cahaya putih terang menyelimutiku.

*

Beribu-ribu kilometer di sana, di atas kursi dalam sebuah ruangan laki-laki itu mengerjap kaget dengan mimpi yang dia dapat.

"Haa. Mimpi itu lagi!" Perasaan tidak enak  pun menjalar, dia merasa sangat khawatir tentang perempuannya. Sepertinya takdir, membuatnya harus selalu mengingat perempuan mungil yang membuat jantungnya kempas-kempis meski hanya lewat tatapan.

Mengusap wajahnya gusar. Mengingat kembali mimpi yang dia alami. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri pun, masih belum bisa dicerna akal sehat.

"Kamu memang selalu dihatiku, dan ketika aku datang, aku yakinkan kamu menjadi milikku. Selamanya."

Setelah pikiran yang berkecamuk dengan berbagai macam pikiran laki-laki bermata coklat itu pun beranjak dari kursinya pergi meninggalkan ruangan yang senyap. Mencoba mencari segala sesuatu untuk mengalihkan mimpi dan perempuan itu.

*

Aku mengerjap beberapa kali dengan cahaya putih yang begitu menusuk. Rasanya tubuhku remuk, dengan lemparan yang tidak tahu berasal dari mana. Aku mengerang, ketika merasakan tanganku begitu kaku.

"Errnggg.."

"Ara? Lo bangun ra? Lo bangun?"

Suara ka Ori yang sudah sangat aku hafal menghampiri pendengaranku. Aku masih mencoba beradaptasi dengan sinar terang yang seoertinya terlalu mencolok di mataku.

"Ra! Lo bangun raa!" Teriakkan ka Ori semakin membuatku mencoba untuk membuka mata yang sangat lengket ini. Dan begitu terbuka, aku bisa melihat ka Ori ada dihadapanku.

"Ara..." Aku tahu, wajah ka Ori benar-benar kusut. Sepertinya kali ini aku yang membuat dia begini. Tanpa banyak bicara, ka Ori memelukku. Dan berucap syukur bahwa aku sudah bangun.

Memangnya aku kenapa? Batinku.

"Syukur ra lo bangun. Gue pi--kir gue bakal kehilangan lo."

"Guu---"

Sepertinya ka Ori sadar dan melepaskan pelukanku lalu mengambil air putih yang berada di atas nakas. Membantuku bangun untuk meminum.

"Udah?" Tanyanya, yang aku jawab mengangguk.

"Gue panggilin dokter dulu ya." Ka Ori pun beranjak. Dan meninggalkanku sendiri di kamar yang sangat aku yakini adalah di rumah sakit. Rasanya, badanku terasa kaku semua. Aku tidak ingat berapa lama aku berada di sini, yang aku ingat adalah tubuhku tidak bisa digerakkan waktu aku berada di dalam kamar mandi.

"Hahahhaha." Rasanya, ada yang mengambil alih kembali atas tubuhku. Aku tiba-tiba tertawa dengan kelakuanku sebelum aku pingsan, aku yang menangis, aku yang menghancurkan kamarku, aku yang terluka raga dan batin.

Apa aku sudah gila? Pertanyaan, dari sisi lain dalam hatiku membuat ku menggeleng. Tidak mungkin.

"GAK MUNGKIN!!! ENGGAK! ENGGAK!" Aku menggeleng kembali dengan hebat. Tapi suara itu masih ada, dan terus berteriak meneriakan aku gila.

Ceklek.

Seorang dokter dengan suster menghampiriku. Aku mengeryitkan, dahiku.

"Ara?" Panggilan ka Ori membuatku menoleh.

"Aku kenapa diperiksa? Aku ga sakit kak. Aku ga gila kak. Dari tadi semuanya bilang aku gila. Aku ga sakit kak. Ayo pulang, sebentar lagi aku mau berangkat. Ayoooo kak!!!" Rengekku. Ka Ori malah memelukku, dan mengusapkan. Kembali, aku menangis.

(Not) FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang