Belum sempat aku melanjutkan ucapanku. Ka Ori sudah memotong,

"Iya gue tahu. Lo pasti dapat nilai tinggi! I am proud of you sista, terus gue yakin lo minta jemput gue? But, sorry to say, gue ternyata ada rapat sama anak-anak di kampus jadi ga bisa jemput lo!"

Baru saja aku tersenyum, bibirku langsung melengkung. Sama aja bohong kalau gitu!

"Yaudah dah, gue naik angkot aja." Kataku.

"Ehh.."

Klik. Aku langsung memutuskan begitu saja telepon. Dan memasukkan kembali handphoneku di bagian laptop eēpaling belakang. Baru saja aku ingin bangkit sebuah tepukan dipundakku, mmebuatku menoleh.

"Ra, SELAMATTT!!" Tubuhku langsung dipeluk ketika aku baru saja berbalik. Rasanya, darahku tidak mengalir dalam beberapa detik. Aku juga tidak membalas pelukan Kay. Yang ada, tanganku mengepal menahan emosi melihat wanita itu!

"Lo bisa lepasin gue? Malu sama cewek lo!" Ucapku tepat di kuping Kay.

Kay langsung melonggarkan pelukannya, dan menatapku--salah?

"Lo ga usah muji gue Kay. Udah tahu gue emang pinter, hahahahaha," pedeku.

Tak!

"SETAN! LO MAU GUE JAMBAK YA?" aku langsung berteriak dan menarik rambutnya, padahal emosiku sudah membuncah melihat mereka berdua!

"RA! SUMPAH SAKIT BEGO! LEPAS LEPAS, GUE BELUM MAU MATI. LEPASSS BEGO!"

Karena teriakkan Kay, aku mundur. Aku menarif nafas dalam dengan sesak. Sementara, Kay di depanku mengaduh dengan sakitnya.

"Ara, selamat ya." Ucapan lembut, itu membuatku menoleh dan melirik Vera yang menjulurkan tangannya. Ragu antara menyambut atau tidak, akhirnya, aku memilih untuk menyambut. Hanya tersenyum dan mengucapkan "thanks."

"Ra, err, ini Vera. Lo tahu kan? Dia---"

"Cewek lo!" Tukasku.

"Kok lo tahu?" Tanya Kay sok--polos.

Ups. Aku hampir saja terbawa emosi. Jangan dia kira aku ga tahu ya tentang dia dan Vera. Aku tahu semua! Tahu bagaimana mereka bisa jadian, ga perlu kalian tanya perasaanku gimana. Karena kalian akan sadar sendiri bila merasakan.

"Ra.." kay menatapku dengan muram. Tapi aku mengerti binar di matanya ketika melihat Vera tidak seperti itu.

"Gue balik!" Ujarku, dan langsung berbalik. Sedikit berlari kecil, inikah rasanya? Inikah ketakutanku? Bahwa akhirnya memang aku sama dia, harus berpisah. Tapi kenapa rasanya sesak?

Aku berlari terus, hingga keluar sekolah. Bersamaan dengan nafasku yang mulai tercekat, air mataku merembes. Aku sadar, ini adalah akhir dari segala yang aku rasa. Aku melihat di depan sana ada pohon, dan aku rasa sudah cukup jauh juga aku berlari tanpa arah dari sekolah. Aku terduduk bersandar di pohon, tidak peduli mungkin orang lain akan melihatku seperti apa. Menutup mataku, menangis sejadi-jadi. Aku lelah, sangat lelah dengan perasaan ini.

"AAAAAA!!!!"

Aku keluarkan emosiku, berteriak, sakit! Jantungku sakit, bahkan aku pukul pun rasanya sama ada yang sessk. Padahal, aku sudah janji tidak akan menangis lagi. Tapi ini apa? Kenapa melihat dia begitu menyakitkan?

Aku hanya lelah. Lelah menahan gejolak. Ku biarkan air mata ini terus menetes. Meraung-raung untuk kukeluarkan.

"Malu-maluin banget lo! Keterlaluan!"

Suara khas yang terdengar membentak itu pun membuat aku untuk mendongak. Aku lihat, di depanku ada Renan dengan senyum--jutek yang terpasang dibibirnya.

(Not) FriendzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang