{ 04-66: Memento Mori: Hiduplah hari ini sebagaimana kamu akan mati besok. }

Start from the beginning
                                    

''Maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk menyulitkanmu. Aku hanya ingin agar Freya tahu yang sebenarnya dan nggak tumbuh jadi wanita pendendam sepanjang hidup.''

Ayuna berhenti membersihkan tangan mendengar ucapan itu. Ia menghela napasnya berat sebelum melihat kedua telapak tangannya seksama.

''Kamu tahu, aku nggak pernah mau dilahirkan punya tangan, kek, gini. Aku nggak mau dan benci berbeda daripada yang lain. Karena itu, dari dulu aku nggak pernah suka dengan tanganku. Aku sangat benci mereka. Sama seperti katamu tadi, aku tumbuh dengan kebencian sampai-sampai nggak pernah menyadari kalau ada kalanya tangan sialan ini berguna. Aku hanya sibuk dengan ketakutanku menjadi monster seperti yang mereka bilang. Aku takut, bener-bener takut.''

Sial, air mata Ayuna entah kenapa merembes tiba-tiba dan itu memalukan.

''Kamu tahu alasan kenapa aku selalu memakai sweater panjang?''

Maya diam, posisi mereka sekarang berdiri menghadap dinding di mana terdapat bekas lukisan. Mereka memandangi itu lekat sekali.

''Selain takut mengetahui ingatan orang-orang. Aku juga takut dengan ini.''

Ayuna kemudian melipat kedua lengan sweaternya bergantian. Di salah satu lengan terdapat luka bakar memanjang, sedang yang kiri ada bekas sayatan dalam.

Ia menjelaskan, ''Setiap kali aku melihat luka bakar ini, aku merasa seperti membunuh Milly berkali-kali baik dalam mimpi maupun saat terjaga. Aku seperti melihat Milly mati di tangaku. Oleh karena itu aku sangat kesal, kenapa dulu tanganku nggak hancur sekalian? Dengan begitu, aku nggak akan pernah merasa bersalah. Hingga aku berniat memotong kedua tangan terkutuk ini. Sialnya aku gagal karena nenek tiba-tiba masuk dan mencegahku. Kamu tahu, itu alasan terbesarku kenapa selalu membersihkan kedua tangan. Aku terlalu jijik dan kebiasaan-kebiasaan itu membuat jiwaku sakit.''

''Maafkan aku. Aku nggak tahu kalau kamu mengalami hal sesulit ini.''

Ayuna menggeleng. ''Nggak. Justru aku yang ingin berterima kasih. Berkatmu, ingatan lama yang terblokir kini kembali. Aku juga udah nggak lari lagi. Dan yang paling penting adalah karena kamu, aku jadi lebih bisa mengerti kenapa Tuhan menitipkan kedua tangan ini padaku. Mungkin terdengar bodoh dan terlambat, tapi aku akan berusaha untuk menggunakannya dengan baik.''

Ia menoleh ke Maya, menatapnya lekat.

''Jadi kamu ingin membantuku dengan konsekuensi tubuhmu akan semakin lemah?''

Ayuna mengangguk. ''Nggak masalah.''

Ia melempar senyuman pada Maya. Sebuah senyuman manis yang sangat jarang menghias wajah.

''Aku janji, sebagaimana aku berjanji pada Milly untuk menjaga Alenta. Aku akan membantumu.''

Berangkat dari sana, Ayuna pun menemui Freya. Namun, guru itu sudah mengundurkan diri dari sekolah. Ayuna sempat frustrasi karena begitu terlambat, tetapi Maya mengingatkannya kalau mungkin Freya pergi mengunjungi Amel untuk terakhir kali.

Ya, kata Lian, Freya ingin ke luar negeri dan mungkin nggak akan pernah kembali. Ia ingin melanjutkan pendidikan dan menyibukkan diri. Dengan begitu, ia perlahan-lahan menyerah terhadap Amel sang kakak. Mungkin insiden itu membuatnya kehilangan arah dan memilih mengasingkan diri. Bagaimana pun, ia menganggap kalau kasus kakaknya nggak akan pernah bisa terselesaikan. Kebenaran itu akan tertimbun selamanya.

Tanpa pikir panjang, Ayuna bersama dengan Maya pun ingin ke lapas itu. Namun, sebelum benar-benar ke sana, Lian mencegatnya dan menanyakan alasan kenapa ia mencari guru tersebut. Ayuna menjelaskan kalau ada hal yang ingin ia sampaikan pada si wali kelas pengganti dan itu sangat penting.

Si Penitisan!Where stories live. Discover now