"Tahu ah bodo amat! Gue laper, mau makan!" Ucapku.

"Lah lo laper napa minta makan sama gue?" Tukas Renan.

"Pokoknya kalian berdua! Kalau ga gue bilangin ayah sama bunda!" Ancamku.

"Wo ngaduan. Ri adik lo tuh!" kata Renan.

"Lo mau di sini apa mau cabut aja ke rumah? Lagian kata dokter lo udah mendingan sih. Cuman banyak istirahat aja." Tanya ka Ori dengan lembut dan sudah ada di sampingku.

Mataku berbinar, aku lebih memilih di rumah daripada di sini!

"Rumah! Ayo balik!" Semangatku muncul. Aku langsung bangun dari tempat tidur. Sementara itu, ka Ori langsung keluar dari kamarku, mungkin mengurus administrasi dan meninggalkan aku dengan Renan.

Aku lihat, Renan berjalan ke arahku. Dan saat ini dia duduk di hadapanku, aku mengeryit bingung kenapa?

"Kenapa lo?" Tanyaku--sedikit membentak.

"Lo tuh kalau punya masalah sama dia, atau apapun yang bersangkutan sama dia ya bicarain aja ra. Lagian, menurut gue Kay ga bakal marah kalau tahu soal perasaan lo. Dan kalau bisa sih, gue harap lo rela. Karena yang gue lihat, sepertinya memang lo ga pernah bisa lebih di mata dia selain selama ini yang kalian jalanin. Mungkin, lo bisa bikin tertawa dengan dia dan buat dia bahagia, tapi sempurnanya dia bahagia dan tertawa bukan karena lo!"

Jleb.

Aku menggeleng, "Gue udah ngalah selama ini. Gue rasa ini bisa dilupain beriringan waktu. Tapi kenapa? Sedikitpun dia ga bisa lihat kalau gue ada, ada hal lebih untuk dia. Gue emang mau bicarain, nanti. Tapi, gue udah kecewa. Dan bisa saja, luka yang baru tersayat sedikit nantinya jadi dalam."

Renan mendekatiku, dia mengelus rambutku. Tidak, aku tidak boleh menangis. Aku kuat!

"Jangan pura-pura kuat, lo tahu ada gue sama Ori yang selalu bisa ngasih kekuatan buat lo. Kalau lo abis kuatnya, ya minta ke kita. Yang pastinya, apapun yang buat lo bahagia kita lakuin ra."

Aku langsung memeluk tubuh Renan. Dia benar, mugkin jika tidak ada Renan maupun ka Ori tidak tahu lagi aku harus mengeluh kemana. Setidaknya, walaupun sifat buruknya lebih banyak Renan tetaplah seorang kakak.

Bagiku.

"Ayo woee!" Teriakkan dari arah pintu membuatku melepas pelukan. Renan tersenyum, dan tiba-tiba berjogkok di depanku.

"Ayoo putri Ara! Back to home!", Ucap Renan.

Aku terkekeh, "Hahahaha let's go!" Balasku dan naik ke punggungnya.

Renan menggendongku keluar rumah sakit, seperti biasa aku mendapatkan tatapan iri dari para suster. Ya, ya, ya, aku tahu tampang Renan dan ka Ori memang di atas rata-rata.

Ih dia ganteng banget!

Eh dia siapa? Jangan-jangan ceweknya lagi,

Duhh itu yang jalan duluan manis bangett!

Memutar bola mataku malas, hello! Siapa yang ganteng? Siapa yang manis? Renan? Ka Ori? Gatahu aja kali ya!, Dumelku.

"Lihat, gue banyak fans. Kalau lo aniaya gue bisa abis lo sama fans gue," ucap Renan.

"GEER!" Teriakku dikupingnya.

Aku merasakan tubuh Renan goyang, hampir saja aku melepas pegangan pada lehernya.

"BEGO! BEGO! LO MAU JATUHIN GUE?"

"LO GAK USAH TERIAK! ATAU GAK GUE JATOHIN LO!"

aku meringis, mendengar Renan berteriak. Tuh kan! Dia itu emang paling resek, mana dilihatin di sekeliling. Kebanyakan suster melihat tingkahku dan Renan.

(Not) FriendzoneWhere stories live. Discover now