"Lo pernah bunuh Ayah lo kan?!"























































































"Oh, karena itu jadi lo nuduh kalau gue pembunuhnya. Tapi Kak, kayaknya lo juga lupa deh, hehe. Ayah lo kan mantan narapidana, pembunuh perantai."













































































Doyoung hanya dapat menatap Jeongwoo yang tertidur pucat di atas ranjang mayat. Ia terkekeh miris untuk dirinya sendiri, laki-laki itu perlahan-lahan roboh, jatuh ke lantai.

"Ck, bego banget sih gue. Gimana mungkin gue lupa sama peraturannya." Doyoung merutuki dirinya sendiri, padahal kemarin malam ia jelas-jelas ingat, maka dari itu kemarin ia hendak pergi menemui Junkyu dan menyuruhnya pulang, namun sayangnya ditahan oleh Jihoon. Tapi kenapa tadi pagi ia tiba-tiba seperti orang linglung?

"Doyoung?"

Kepala Doyoung terangkat kala mendengar suara Junkyu. Laki-laki itu menatap Junkyu dengan mata memerahnya.

"Jeongwoo... nggak selamat?" tanya Asahi, seakan-akan tahu jawabannya dari ekspresi Doyoung, ia mengangguk. "Kalau gitu gue lihat Jeongwoo dulu ya," katanya lalu segera masuk ke kamar mayat.

"Maafin gue, Kak, gue lupa," ujar Doyoung dengan datar pada Junkyu tanpa menatap mata si laki-laki bertopi baret itu.

"Bukan salah lo."

"Emang salah gue, lo nggak perlu bilang bukan salah gue cuman buat ngehibur gue," tukas Doyoung santai lalu hendak pergi, namun tangannya ditahan oleh Junkyu.

"Gue ngomong begini bukan untuk ngehibur lo, karena nyatanya takdir nggak bakalan bisa dirubah. Andaikata misal harus ada orang yang disalahkan itu gue, gue yang bandel dan nggak nurutin lo. Bikin skenarionya berubah sampai kayak gini," ujar Junkyu lalu menepuk bahu Doyoung.

"Ya." Hanya itu respon Doyoung dan hendak pergi, namun tangannya lagi-lagi ditahan oleh Junkyu. Doyoung menatap Junkyu malas. "Apa lagi?"

"Tangan lo."

Pandangan Doyoung mengikuti arah pandang Junkyu, telapak tangannya. Telapak tangan Doyoung terluka kala berusaha melepaskan ikatan tali pada leher Jeongwoo yang sangat erat.

"Gue ntar obatin, nggak usah bawel lo."

"Bukan itu."

"Apa lagi?" tanya Doyoung, ia malas berhadap-hadapan dengan Junkyu, yang ia mau sekarang hanya sendiri.

"Lo nggak papa? Lo merasa baik-baik aja bukan berarti lo memang baik-baik aja. Kadang hati lo lebih tahu daripada otak lo," ujar Junkyu tulus. Junkyu lalu menepuk bahu Doyoung sekali lagi sebelum akhirnya hendak melangkah pergi.

"Kak," panggil Doyoung menghentikan langkah Junkyu.

"Kalau misal gue kasih pilihan ke elo, pisau atau obat. Lo mau kasih gue yang mana?"

Junkyu sempat mengernyit sebentar sebelum menjawab, "tergantung kebutuhan lo dan tergantung, bagaimana lo bisa mempercayakan dua benda itu ke gue."

"Kalau lo tahu gue orang jahat, lo pasti bakalan kasih gue pisau kan?"

Junkyu tersenyum tipis menatap Doyoung yang menunduk. "Mau lo orang baik atau orang jahat, siapapun lo, lo berhak hidup. Kalau lo cuman merasa nggak berhak hidup cuman karena lo merasa diri lo jahat. Lo salah besar, kadang obat berlebihan pun dapat bikin lo mati, Doyoung."

Crafty | Treasure ✔Where stories live. Discover now