PERAYAAN Lebaran kali ini menyisakan lebih banyak tanda tanya. Rumor yang berembus makin terang-terangan, lebih vulgar dari sebelumnya. Berpura-pura tak acuh sepertinya bukan lagi jadi pilihan.

Aku tak tahu kapan Kisa kembali ke Amerika. Ia sepertinya punya cara tersendiri untuk pergi tanpa kabar, kemudian hadir begitu saja. Untungnya, Kintan adikku datang memberi pertolongan tanpa diminta; tiba-tiba ia menyodorkan secarik Post-it berisi nomor ponsel Kintan saat sarapan bersama.

Kintan mengambil tempat di sebelahku. Di depan kami, Mama dan Nenek tampak serius berdiskusi tentang pesanan khusus tas tangan yang dibuat dari sutra Thailand dan bertahktakan rubi merah khas Chanthaburi. Biasanya Kintan doyan nimbrung kala tas-tas cantik—terutama Loro Piana dan Prada—jadi topik utama. Tetapi, kali ini ia memilih menikmati sarapannya sambil, diam-diam, mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Pernah terpikir ada skandal tersembunyi di balik muka-muka penuh sukacita saat perayaan Lebaran kemarin, nggak?"

Pertanyaan Kintan sukses membuatku melirik. "Jadi, kamu juga mendengar?"

"Mendengar apa?"

Aku mengangkat pundak sekenanya, tak tahu bagaimana menjelaskan ke adikku. "Gosip aneh seputar keluarga kita."

"Nggak ada yang berani ngomong langsung ke aku, Mas Aga. Terus, nggak ada efeknya juga. Jadi, aku nggak peduli."

"Hmm..." aku masih berpikir, tak sepenuhnya setuju dengan pendapat adikku.

"Daripada memusingkan beginian, lebih baik Mas Aga segera datangi rumah keluarga Wilaras sebelum Kisandria balik ke States."

"Kamu benar, Kin." Tersenyum lebar, aku pun segera bangkit mencari kunci mobil.


___


"Kisa, ini Aga."

Aku berharap terdengar lebih cool, lebih dewasa, namun pada kenyataannya suaraku bak remaja belasan tahun yang kebelet ingin berjumpa dengan kekasihnya. Padahal, Kisa sama sekali tidak menyandang status itu.

"Hai, Aga!"

Di ujung sana, suara Kisa tampak terkejut, juga senang.

"Belum balik ke U.S. dalam waktu dekat 'kan? Rumahmu masih di Petojo?" Aku ingat beberapa anggota keluarga Wilaras lain yang bermukim di daerah sekitar Gambir itu dengan pepohonan besar di kanan-kiri yang menjadikannya teduh.

"Maksudmu, rumah nenekku, ya? Udah nggak di Petojo lagi. Sekarang di Pejaten Barat." Kisa tertawa mengalun. "Kali ini mungkin nggak langsung balik ke Chicago. Tapi, Aga, aku nggak tinggal bareng Nenek..."

"Oh... nggak?" aku malah bertanya balik, bingung.

"Aku di apartemen."

Obrolan itu dilanjutkan di La Moda Café tak lama kemudian. Kisa datang sepuluh menit setelah smoked salmon sandwich dan kopi pesananku disajikan. Ia terlihat memukau meski mengenakan pakaian sesimpel celana palazzo, kaos putih, serta dandanan minimalis—seakan-akan baru selesai dari pemotretan editorial fesyen.

Kehadiran Kisa sedekat ini, dalam suasana yang jauh dari hiruk pikuk pesta sempat membuatku terlena, lupa tujuan awal pertemuan ini yang sebenarnya ingin menanyakan bisikan miring beberapa tamu saat perayaan Hari Raya, apalagi nama Papa ikut terucap saat itu. Mungkin Kisa mengerti sesuatu yang tidak kuketahui.

Sayangnya, suasana saat ini terlalu nyaman untuk dirusak dengan pertanyaan berbau skandal. Walau baru bertemu lagi setelah belasan tahun, obrolan kami mengalir begitu saja; awalnya seputar kegiatan sehari-hari di New York maupun Chicago—yang meski sama-sama di Amerika, namun beda kebiasaan—dan berakhir pada rencana Kisa tatkala kembali ke Indonesia. Sesuatu yang terasa personal karena kuyakin ia tidak menceritakan ini ke tiap orang yang ditemuinya.

Hati Tetap di SiniWhere stories live. Discover now