Chapter 1: Je t'adore

519 73 9
                                    

Hai, hai pembaca yang penuh cinta. Jangan lupa vote, komen, dan masukin cerita ini ke reading list kamu yah. Big Love  -Tane-

J'ai des papilons dans le ventre

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


J'ai des papilons dans le ventre.

[Ada kupu-kupu dalam perutku]

Virgo

Apa ada yang alergi dengan bau rumah sakit? Aneh sekali. Aku justru menyukainya. Aku menyukai aroma alkohol bercampur karbol di setiap sudut Rs. Lovelette. Tentu saja, aroma anyir—jika tercium—masih belum bisa kutoleransi sepenuhnya. Akan tetapi, tempat kerja bunda selalu menarik.

Orang-orang sakit berwajah pucat dengan aura putus asa melewati pintu ini. Lalu saat keluar, ronanya berbeda. Bisa lebih pucat lagi atau lebih cerah dari matahari terbit yang dilihat dari Gunung Bromo.

Bunda selalu bilang, rumah sakit adalah tempat yang 'suci'. Beliau selalu mengutip kalimat terkenal—entah siapa yang pertama kali melontarkannya.

Dinding rumah sakit lebih banyak mendengar doa-doa paling tulus daripada tempat ibadah.

Aku selalu merasa kalimat itu terlalu melankolis, tetapi juga keren. Mungkin karena terlalu sering bergaul dengan bunda, jadilah dokter sudah terpatri sebagai profesi impian—seperti bunda. Terlebih lagi, pengumuman kelulusan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran siang tadi menambah riang hati ini. Memang inilah jalanku untuk mengabdi pada negeri. Mboi, Beh!

"Maaf. Dokter Ana, belum selesai?" Kepalaku muncul dari balik pintu setelah seorang pasien keluar dari ruang praktek bunda.

"Satu pasien lagi, Dokter Virgo." Bunda menjawab tanpa mengangkat kepalanya. Ujung bibirku terangkat mendengar panggilan itu. Bunda tahu saja cara membuatku sumringah. Dokter Virgo Ramadhan Malik. Ah, keren sekali di telinga.

Saat itulah, seorang wanita muda berseragam melewatiku dan masuk ke dalam. Aku kembali duduk di kursi panjang berwarna putih. Perawat Nina keluar dan menyapaku. "Maaf ya, Virgo. Hari ini banyak sekali pasiennya."

Aku hanya tersenyum manis.

"Aduh, Bu Ana ngidam apa sih, punya anak semanis kamu. Tinggi, ganteng, manis, selamat ya diterima kuliah kedokterannya."

Sepertinya bulan depan aku akan merindukan pujian-pujian ringan ini. Mulai bulan depan, hidupku akan berubah. Tidak ada lagi pujian genit dari perawat Nina. Tidak ada lagi terdengar teriakan si Jangkrik, Teguh yang maksa mengajak main sepak bola. Tidak ada juga wajah Rara, santri manis yang kerap mondar-mandir di depan rumah. Terlebih lagi—yang amat sangat kusyukuri—tidak ada lagi teriakan ebes kodew alias bundaku tersayang di pagi hari untuk membangunkanku berangkat sekolah.

Hidupku akan naik satu tingkat. Jadi anak kuliahan. Kuabaikan kenyataan kalau nanti bisa jadi hari-hariku lebih padat. Setidaknya aku bisa mandiri. Sedikit tidak rela, tapi aku ingin keluar dari zona nyaman ini.

Love SensoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang