•Prolog•

178 9 0
                                        

Hari sudah tak lagi siang, Ayya yang sudah menyelesaikan shift paginya dengan sedikit terburu-buru mengganti seragam kerjanya.
Setelah Ayya selesai mengambil barangnya, ia terdiam sembari menatap kearah kasir di mana terdapat lelaki seumuran yang akan bekerja di shift berikutnya.

Haruskah aku berpamitan padanya? Aku tak ingin.

Beberapa menit Ayya memikirkannya, keputusan akhir yang ia ambil adalah berpamitan dengan cepat tanpa melihat kearah lelaki itu.
Ayya mengambil langkah besar menuju pintu keluar. Ketika tangannya hendak mendorong pintu minimarket, dengan sekali tarikan napas ia berpamitan.

“Sampai jumpa,” pamitnya dengan nada datar.

Ayya mendorong pintu lalu keluar minimarket tanpa menunggu respon laki-laki itu. Dengan tubuhnya yang masih tegang Ayya berdiam diri di depan minimarket, kedua tangannya saling bergenggaman. Ayya menundukkan kepalanya, ia melihat tangannya gemetar.

Lagi-lagi reaksi yang berlebihan.
Helaan napas terdengar, ia berusaha menenangkan dirinya.

Kerja bagus untuk hari ini, puji Ayya sambil mengepalkan kedua tangannya. 

Ayya berjalan pulang menuju rumahnya. Beruntung Ayya memiliki jam pulang yang tidak sama dengan kebanyakan orang sehingga hanya sedikit orang yang ia jumpai di sepanjang jalan.

Ayya menjumpai perempatan jalan dengan matanya, ia sedikit merasa tenang karena jika ia berbelok kearah kiri, Ayya akan tiba di rumahnya. Tapi beberapa saat kemudian, seorang anak perempuan tidak sengaja menabraknya ketika ia akan berbelok. Anak perempuan itu kehilangan keseimbangan tubuhnya karena menabrak Ayya.

Ayya sedikit khawatir, ia ingin menanyakan bagaimana keadaannya pada anak itu. Tapi kemudian Ayya mendengar suara langkah kaki, Ia panik ketika melihat gerombolan anak sedang berlari ke arahnya. Ayya yakin anak-anak itu adalah teman anak perempuan yang menabraknya. karena asumsi tersebut ia memilih untuk pergi tanpa membantu anak perempuan yang masih dalam posisi terduduk di jalanan.

“Aku minta maaf,” ucap Ayya seraya menatap mata mungil anak perempuan itu. Setelah mengucapkan hal itu ia pergi menjauh.
Maaf, aku tidak bisa menghadapi orang sebanyak itu. Bahkan jika mereka anak kecil, batin Ayya.

Anak perempuan itu menatap heran punggung Ayya yang perlahan menjauh darinya.

“Emi!”
Merasa namanya terpanggil, anak perempuan yang dipanggil Emi itu beralih menatap teman-temannya.
“Kamu gak apa-apa?” Anak perempuan yang terlihat paling tua dari sekelompok anak-anak itu bertanya mewakili rasa khawatir teman-temannya.
“Emi gak kenapa-kenapa kok, kak Ani!” Senyuman layaknya musim panas tanpa awan milik Emi membuat teman-temannya menghembuskan napas lega. 

“Kakak-kakak yang tadi itu kenapa sih?! kok lari gitu aja,” kesal teman lelaki seumuran Emi.
“Vino gak boleh gitu, mungkin kakak itu lagi buru-buru,” jawab Ani.

Emi kembali beralih melihat Ayya, namun tidak mendapatkan hasil apa-apa karena tak ada satupun orang di jalan itu.

Target Of Destiny (DROP)Where stories live. Discover now