Ètoilèe

53 18 0
                                    

Satu-satunya cahaya yang tersisa berasal dari lampu lentera jalanan yang menyala dan pot berapi yang digantung di atas dinding bebatuan, diawasi oleh seorang laki-laki yang membawa obor dan pedangnya menuju barat.

Sedangkan si orang misterius—seorang perempuan dengan penutup wajah hitam dan pakaiannya yang berwarna kayu manis menyelinap dari bayangan ke bayangan tanpa diketahui, seakan-akan dia lah bayangan itu sendiri.

Sama sekali tidak terpikirkan bahwa seseorang dapat berkeliling di malam hari selain petugas keamanan yang berpatroli malam tanpa di dampingi ayah, suami, ataupun saudara laki-laki. Namun, perempuan itu akan melakukan apa saja untuk mencari seseorang yang menghilang dari hidupnya.

Dengan mata membelalak di balik penutup wajahnya, perempuan itu mengamati, memerhatikan, bayangan laki-laki pembawa obor. Hingga ia sadar jika bayangan laki-laki itu menghilang dan hanya bayangannya sendiri. Telinga perempuan itu menajam saat mendengar suara ranting yang seakan-akan diinjak oleh seseorang.

Sreet!

Perempuan itu mengayunkan pedang ke kiri dan benar saja, pedang miliknya bertangkisan dengan pedang milik seseorang. Saat pedang bertangkisan dan tertahan, perempuan itu menggunakan tangan kiri untuk menangkap pergelangan tangan kanan seseorang yang saat ini menyerangnya.

Kemudian ia memutarnya ke arah luar sehingga laki-laki tersebut condong ke samping karena perlawanan yang diberikan perempuan itu.

Rasa bangga saat tubuh laki-laki tersebut condong ke samping naik hingga mata, “kau kalah malam ini, Owain si Lincah,” ejeknya.

“Tidak malam ini, Ahera,” ujar Owain si Lincah terkekeh.

Owain menggunakan kepalanya untuk menyerang. Ia membenturkan kepalanya ke belakang dan tepat mengenai hidung Ahera. Ahera tersungkur ke tanah, pedangnya terlempar ke sisi kanan.

“Aww...!” erang Ahera.

Tak lama setelah Ahera tergeletak duduk di atas tanah, Owain mengacungkan pedangnya ke sisi kiri leher Ahera.

“Aha! Aku menangkapmu dasar bayangan malam,” ujar Owain lalu ia tersenyum simpul dan membantu Ahera berdiri.

Trek!

Ahera memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang yang menggantung di pinggangnya, begitu juga Owain.

Mereka berjalan beriringan menuju barat lebih tepatnya menuju pos digerbang masuk. Ahera berjalan di belakang Owain sembari memakan buah Pisang yang ia bawa dari rumah.

“Kau tidak memberiku buah? Atau...”

“Hanya satu,” potong Ahera langsung. Ia menghabiskan potongan terakhir buah Pisang yang ia bawa lalu membuang kulitnya ke seberang jalan. “Atau apa?” sambungnya.

“Entah, aku lupa.” Jelas Owain merasa canggung.

Owain Chester Dillon adalah nama lengkapnya, lebih muda satu tahun dari Ahera, pemilik bola mata hijau ini adalah seorang pemain pedang yang handal, maka tidak heran jika tadi Ahera kalah hanya dalam kurang dari lima belas menit.

“Ahera, bagaimana sosok ibu yang kau kenal?” pertanyaan yang dilontarkan Owain membuat langkah Ahera berhenti.

“Lumayan ganas terhadap anak sendiri dan suaminya, namun berperilaku baik terhadap anak tetangga dan orang lain,” urainya. Ia lalu meneruskan langkah kakinya yang sempat terhenti karena pertanyaan klasik dari bocah sok cerdas satu ini.

“Lumayan detail, hampir sama dengan ibuku,”

“Itu memang ibumu bodoh.” Beber Ahera lumayan kencang.

Vent et PassèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang