Ahera

128 24 10
                                    

Secercah sinar kuning menyoroti pulau Alterwood yang terletak tak jauh dari bangunan mercusuar tua tak terawat, ditandai dengan adanya sebuah kapal yang karam, dengan tiang-tiang penyangga memuakkan yang sudah keropos termakan usia dan embusan angin laut. Tiga puluh tahun yang lalu, ada sebuah kapal bernama Golden-Eye kepunyaan Dunton Blythe berlabuh dan singgah di pulau Alterwood.

Namun karena julukan Kanibal Samudra sudah lama tersemat pada kapal itu semua penduduk pulau Alterwood menyerangnya. Dan dalam legenda penduduk pulau Alterwood disertakan jika kapal itu singgah di suatu tempat, maka tempat itu akan mendapat musibah.

Kapal itu sekarang terbungkus dalam kegelapan malam dan suara apa pun tak mampu menembus keluar dari dalamnya untuk mencapai garis pantai.

⁽⁽ଘ( ˊᵕˋ )ଓ⁾⁾

Malam itu langit berlatar kan aurora, berhiaskan ribuan cahaya bintang membuat semua anak di pulau Alterwood mengitari api unggun bertepuk tangan riang sambil bernyanyi.

Semua anak, kecuali yang satu itu, gadis kecil manis dengan pipi merona, dengan kulit putih halusnya, dan mata coklat bersinar, berusia dua belas tahun tengah duduk di bawah pohon sendiri dan tidak ikut mengitari api unggun. Ia asyik berfantasi dengan imajinasinya.
Ia menutup mata, membayangkan ia terbang di hamparan rumput musim panas, diikuti oleh dua kelinci yang seakan tidak ingin ia pergi jauh. Ia tersenyum hingga terlihat giginya yang berbaris rapi.

“Ahera, kau tidur?” seorang anak laki-laki bermata biru menghampiri Ahera kecil. Wajahnya terlihat kotor seperti baru saja selesai berburu. Anak laki-laki itu tiga tahun lebih tua melemparkan pandangan heran. Alisnya bertaut, dahinya berkerut, matanya menyipit, lehernya sedikit ke kanan, juga berkacak pinggang.

“Jika tertidur aku tidak akan tersenyum,” Ahera membuka matanya. Ia bergeser sedikit sebagai pertanda mempersilahkan Edward duduk di sampingnya.

“Di mana ayahmu?” tanya Edward. Anak itu duduk mengambil tempat yang diberikan Ahera. Ia membuka bungkusan kain berwarna biru tua lusuh dan memberikan tiga buah Rasberi hasil mengambil dihutan dan memberikannya pada Ahera.

“Entah,” kata Ahera, “lagi-lagi berburu tidak mengajakku?” sindirnya.

Edward terkekeh, “kau belum cukup pandai,”

“Lalu bagaimana denganmu? Apa cara memanahmu sudah lebih baik dariku?” potong Ahera tak mau kalah.

Beberapa detik terjadi keheningan di antara mereka berdua. “Kudengar kau sudah menyelesaikan ujian berpedangmu. Bagaimana hasilnya?” Edward membuka obrolan lagi.

Ahera tak berkutik. Ia hanya menjawab dengan menghela napas dan sudut mulutnya terangkat.

“Kau tahu? Aku benci berdiam diri di ini, aku ingin keluar dari Alterwood dan melihat apa yang ada di luar sana.” Edward memeluk kedua kakinya, ia baru saja mengutarakan isi hatinya. Sekian detik kemudian Ahera menatap tajam mata anak itu.

“Nada bicaramu seperti sebuah penyesalan, Ed,” balas Ahera sambil mengangguk-angguk pelan.

“Kita sudah aman di sin-“

“Tidak, legenda kapal Golden-Eye itu tidak nyata!” Edward menyela Ahera, ia menghela napas.

“Maksudku, kau percaya jika ada sebuah kapal yang setiap singgah membawa mala petaka? Jadi kita selalu takut untuk menjelajah dan berlayar keluar sana,” imbuhnya.

“Bagaimana dengan kutukan ketika kita keluar dari pulau?” ungkap Ahera.

“Kutukan itu tidak ada! Ah, sudahlah. Kau hanya bisa berimajinasi, apakah tidak ingin mewujudkannya di luar sana?” Mata Ahera membulat. Seakan tak percaya jika itu dapat diwujudkan.

Saat akan menjawab pertanyaan Edward, secara tiba-tiba ia tidak mendengar apa-apa. Tarian, tepukan, dan suara api unggun. Sunyi.

Tak lama setelah Ahera dan Edward menyadari hal itu, kepala desa berteriak, “GOLDEN-EYE DATAANGGG! MEREKA KEMBALIII!”

Suasana menjadi riuh, semua ketakutan. Kepala desa menyuruh untuk setiap anak-anak, bayi, dan perempuan untuk lari ke arah timur lalu bersembunyi.

Sementara pasukan penjaga desa berlari untuk menghalang mereka digerbang masuk dengan membawa alat perang seperti pedang, tombak, panah, dan tameng.

Ahera panik mencari ayahnya. Edward mengikuti ke mana Ahera berlari, hingga sampai di perbatasan gerbang utama dan gerbang masuk mereka berdua berhenti. Ahera melihat ayahnya sedang mengangkat pedang tinggi-tinggi di depan puluhan laki-laki dewasa yang juga membawa pedang beserta tameng dan mengatakan dengan lantang.

“Aku, panglima Ryan Harvey memimpin penyerangan Alterwood untuk mengalahkan Golden-Eye, pemanah sudah berada di tempatnya, kalian semua bersamaku!” prajurit bersorak, mereka juga mengangkat pedang tinggi-tinggi.

Tak sengaja pandangan Ryan bertemu dengan pandangan Ahera. Dengan matanya yang berbinar dan rahangnya yang menegang, ia menatap wajah manis gadis kecilnya. Sementara Ahera yang juga menyadari kontak mata ini, matanya menggenang, ia menggelengkan kepalanya pelan. “Ayah... jangan,” bisiknya.

Ryan mengangguk pelan sembari tersenyum. Dibalik senyuman itu, Ahera dapat melihat rasa takut dan khawatir yang besar. Edward langsung menarik tangan Ahera untuk lari menjauh dan pergi ke arah timur lalu bersembunyi. Namun tidak mudah mengajak anak berusia dua belas tahun berlari saat anak itu tahu bahwa Ayahnya akan bertempur. Dan tentu saja Ahera memberontak.

“Ayahku! Suruh dia meletakkan pedangnya...!” lirih Ahera di dekapan Edward. Matanya dibanjiri air, ia berkali-kali mengatakannya.

Prajurit mulai berangkat dengan dipimpin oleh panglima Ryan Harvey menuju barat. “Ayah... tidak... ayah...!”

Tangisan Ahera semakin menjadi, rasanya ia ingin berlari dan memeluk ayahnya. Edward yang dengan sekuat tenaga menghalangi Ahera semakin melemah.

“Ahera! Jangan berlagak seperti anak bodoh. Sadarlah!” keluh Edward.
Perlahan Ahera mengalah, ia tidak tahu lagi harus bagaimana.

“Mau kau menunggu bersamaku di sini?” desak Ahera, “aku ingin menunggu ayahku.” lanjutnya.

“Kau gila? Ayo kita pergi ke timur saja!” resah Edward.

Ahera diam, ia tahu pasti Edward tidak mau. Namun apa boleh buat, Edward duduk di samping Ahera dan menemaninya menunggu ayah gadis kecil itu pulang.

Malam semakin larut, langit aurora memudar berganti kan kabut dan kesunyian.

“Edward, aku ingin menemui ayahku,” beber Ahera.

“Jangan, sebaiknya kau disini,” tegas Edward, “biar aku yang memeriksa ke gerbang masuk,” ujarnya dengan berani. Edward memberikan sekantong buah Rasberi yang belum habis pada Ahera. Ia menatap Ahera dengan mata birunya, “ingatlah tatapan ini,” katanya.

Setelah itu Edward bergegas pergi menuju gerbang masuk. Sementara Ahera memeluk kantong berisikan buah Rasberi itu erat-erat, “Edward...” lirihnya menatap punggung Edward yang semakin lama menghilang di kegelapan.

Perasaan Ahera yang tidak tenang membuatnya pergi mengikuti Edward dan masuk ke dalam kegelapan.

Sampainya di gerbang masuk ia tidak melihat apa , semua gelap. Ia berlari ke bukit, dan saat itulah ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Hai! Selamat datang di part 1 kelompok 6, jangan jadi silent reader's yaa^^.

-Salwa
-Akwa
-Huma
-Izza

Salam Sayang❤️.

Vent et PassèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang