Bagian 3: Jonathan

4.1K 426 24
                                    

Aku dilahirkan di kota Hamburg, Jerman. Ibuku adalah wanita berwatak pendiam yang berprofesi sebagai seorang perawat. Orang-orang kerap kali memanggilnya Samantha; ialah Samantha yang menyandang marga Jergens. Ia juga merupakan seorang warga asli Jerman yang memiliki campuran darah Amerika. Kedua darah itu memadu padu di dalam urat-urat nadi ibuku.

Sejak kecil, aku tidak pernah tahu wajah ayahku. Bahkan namanya saja aku tidak tahu-menahu. Setiap kali aku bertanya kepada ibu, hanya pukulan keras dan cacian saja yang kudapat. Saat itu aku hanya mengenal rasa takut, tapi sekarang aku paham ibu sangat membenci pria itu.

Kebenciannya pada ayah sangat kentara, mengingat ibu juga membenciku karena darah pria itu mengalir di dalam tubuhku. Ibu tidak pernah sekali pun ingin menatap mata anak semata wayangnya ini. Setiap kali ia melihat, setiap kali itu juga marabahaya datang. Ia akan membenturkan kepalaku ke benda-benda keras, berkali-kali, mengakibatkan rasa sakit bersarang di sekujur tubuh. Aku bisa membayangkan lebam hijau dan biru membaur kompleks di permukaan kulit putihku. Aksi itu tentu tidak luput dari  rutukan yang menyelingi tindakan kejinya.

Aku tidak begitu ingat kenangan manis yang menghiasi masa-masa kecilku di kota dekat pesisir pantai tersebut. Hampir semua ingatan pada masa itu adalah neraka dunia. Begitu kelam. Gelap gulita. Gundah gulana. Namun aku ingat satu kejadian yang mengubah titik hidupku.

Suatu hari, seorang pria berpostur tubuh tinggi dengan wajah rupawan, berambut silver, warna kulit serupa lilin, dan matanya menyemukan warna biru pekat serupa batu permata safir, bersanding diri tepat di depan mataku.  Kala itu, senja sedang menyusul langit biru. Cahaya matahari menyoroti tubuhnya yang terhias mantel hitam sepanjang garis paha. Aku diam terpegan. Sunyi. Lidahku kelu sesaat.

Mataku membelalak ketika ia menyuarakan sebuah kata yang selama ini kuanggap sebagai antusias fana. Ayah. Begitu ucapnya.

(Kala itu aku belum tahu asal-usulnya. Sebagai informasi tambahan, ia adalah seorang pria berkebangsaan Norwegia dan dibesarkan di wilayah Selatan negeri nordik, tepatnya di Kota Kristiansand.)

Aku mendongak, memandangi wajahnya beberapa menit, berusaha menciptakan ingatan secara terampil dan merekam sebuah bayangan di dalam laboratorium pikiran. Aku yang berusia enam tahun itu ingin mengingat wajahnya, merekatkan sketsa wajah ayah secara permanen di dalam otakku.

Pria jangkung itu juga melakukan hal serupa. Ia menatap mataku dalam-dalam. Tanpa ekspresi. Saat itu aku berpikir ia datang untuk menjemputku dan menyiapkan hadiah istimewa berupa selaksa kasih sayang. Akan tetapi, pria dengan tatapan mata tajam itu justru menganggapku sebagai suatu ancaman.

Ia menarik sebuah pistol hitam di saku mantelnya, mengarahkan benda itu ke mataku yang sembab. Kejadian yang kukira melepas rindu itu justru menjadi sebuah malapetaka paling dahsyat.

Rekaan itu acapkali menjadi sebuah bumerang bagi harapan kecilku. Ternyata. . . tidak ada satu orang terdekat pun yang rela menghinggapkan cinta dan kasihnya ke dalam sukmaku. Tanpa terkecuali. . . .

***

"Mmm...." kecupan manis tiada henti itu menguasai momentum intim kami. Bibirnya yang semanis buah ceri mengikuti irama permainan dengan syahdu.

Kuintip wajah Haruka yang penuh gairah dan bersemu merah. Bulu matanya yang lentik bergetar lantaran menikmati gulir lidahku. Alisnya terangkat tinggi tanda menikmati aksiku. Sungguh, pemandangan yang memancing gelora hati.

Semua skenario ini membuatku tidak bisa menahan senyum. Kudekatkan bibirku ke telinga wanita itu, membisikkan tiga kata sakral, "I love you."

Wanita bertubuh langsing itu menghentikan aksinya sejenak, menatap rupa wajahku dengan teliti. Ia tersenyum bahagia, mengatupkan mata, kemudian membukanya kembali.

HaruJoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang