Aku Harus Kembali

2.2K 179 6
                                    

AKU HARUS KEMBALI

SEKARANG AKU MERASA mual dan mataku terasa panas terus berair.

Emily membantuku yang berjalan sempoyongan berusaha melihat dengan jelas. Namun rasanya dunia ini terombang-ambing oleh ombak laut, ditambah lagi kegelapan malam membuatku tidak bisa menebak sedikit jelas.

Tetapi tiba-tiba selama kami menelusuri jalan, kami mendapati tiga pria sedang berkumpul dan menodongkan ... apa itu? Pisang hitam? Hah, tunggu, apa? Memang ada pisang hitam?

"Jangan bergerak," kata seorang pria.

Aku sebenarnya menangkap perkataannya tapi entah kenapa aku malah bergumam tak bisa diam. Mereka seolah bicara dengan bahasa hewan laut dengan berkata "hoooon muuu ...."

"Eh-he. Bahasa yang lucu, bung, responsku sambil terkekeh gila.

"Dia sedang mabuk," bisik salah seorang.

Emily menepuk perutku dua kali lalu berganti berhadapan dengan mereka. "Jadi kalian berniat merampokku dan pria tak berguna ini? Sasaran yang tidak bagus, bung. Dia hanya seorang pria payah dan sebaiknya kalian tak perlu tahu aku siapa."

"Oh, berani melawan kau?" tanya si pria dan terkekeh sinis, "kau tidak takut peluru ini menembus tubuhmu nanti?"

"Itu hanya sebuah pisang ketuaan. Sedang apa kau todongkan benda tak berguna itu?" gumamku pelan.

"Hey!"

"Bos! Tenang!" aku mendengar suara gusar di depanku tapi aku merasa tetap tidak peduli.

"Kalian tak sebaiknya membuatku kesal!"

Lalu aku mendengar sebuah pelatuk senjata api baru saja ditekan. Seketika tubuhku terbanting ke sisi setelah Emily mendorongku dengan kasar lalu ia meroda dengan papan selancar berodanya. Aku baru bisa setengah mendapatkan kesadaranku kembali sementara aku melihat Emily beraksi dengan lihai. Papan itu membantunya terseret dengan lincah, menghantam benda pribadi si bos dengan lututnya sehingga dia mengerang. Yang lainnya mulai melancarkan pukulannya tetapi Emily menghindar dengan mudah sehingga mereka malah meninju satu sama lain.

Kemudian Emily menghantamkan papannya pada punggung si bos pada bagian rodanya. Begitu menyakitkan sampai aku ikut meringis. Emily meletakkan papan itu lagi di jalan sambil memutarnya dan melompat, kemudian mendarat dengan sempurna. Tak lupa dia juga mengunci tinju yang baru akan melayang pada pipinya, lalu ia menarik pria itu sampai menubruk pria satunya.

Ia menekankan sepatunya pada dada si bos sangat kencang sampai pria itu memekik penuh derita.

"Kau mau melawanku sekali lagi? Memangnya, berapa sih, uang yang kau butuhkan?"

"L-lima dolar! Hanya lima dolar!" seru si pria nyaris menangis-nangis.

"Oh. Tapi maaf aku hanya ingin tahu," Emily pun menjulurkan lidahnya, kemudian melangkah padaku lagi dan menarikku berdiri secepat mungkin, "ayo Don."

"W-wah, t-tunggu," aku berusaha menyeimbangi langkahnya.

"Sialaaaan kau perempuan iblis!" seru si laki-laki di belakang tanpa digubris oleh Emily.

***

Aku tak bisa berhenti membayangkan bahwa neneknya lah yang mengajarinya berkelahi. Seorang nenek kurus, mengajari perkelahian?

"Hey, padahal kamu juga sama-sama tua, Don!" respons Emily yang duduk di sebelahku pada bangku taman. Dia menyikutku dan tak bisa menahan tawanya juga sebenarnya.

"Sudah kubilang aku masih dua puluh enam tahun! Kenapa kau anggap aku sudah tua, sih?" bantahku masih sambil tertawa sesekali.

"Karena jarak umur kita jauh. Jadi menurutku kau sudah tua," Emily pun tercengir.

"Heh!" lalu aku memukul pundaknya dan dia semakin tergelak.

"Ngomong-ngomong kamu tidak pulang? Ini sudah hampir jam 10."

"Nggak, ah. Malas," jawabnya sambil melengos.

"Kenapa? Kok, bisa malas pulang?"

"Orangtuaku bertengkar terus. Daripada aku mendengar ocehan mereka lebih baik aku keluar rumah."

Sebelah alisku pun terangkat. Biarpun cara menyampaikannya seperti tak peduli, aku bisa lihat Emily sebenarnya sedih dan tertekan. Di matanya, sendu itu terlihat. Bahkan dia sempat melamun beberapa saat sampai dia bicara lagi.

"Kau sendiri kapan kembali ke masamu?"

"Entahlah. Aku jadi malas pulang. Di masa itu aku hanya dijadikan pembantu oleh temanku. Oh, kau tahu, temanku lah yang membawaku ke sini. Dia adalah penemu yang hebat! Kau tahu Frederick Coulson?" tanyaku. Siapa tahu namanya sudah tercatat oleh sejarah karena temuannya.

"Frederick ... apa? Aku tidak tahu," kening Emily pun berkerut.

"Eh, masa'? Kukira catatan sejarah pun akan berubah. Atau jangan-jangan mesinnya rusak lagi dan dia malas melanjutkannya lagi ...." Sebuah dorongan mendorongku untuk mengeluarkan remotku lagi. Aku melihat tombol yang terpisah sendiri berada pada ujung kanan atas dan berlabelkan KEMBALI dengan tulisan nyaris tak terbaca oleh kuas. Dengan jempol yang gemetaran, aku ragu untuk menekan tombol itu sebab aku takut aku malah kembali begitu menekannya ....

Tapi ketika akhirnya tertekan, aku masih berada di tempat.

Emily sedari tadi mengamati remot itu. "Ada kesalahan?"

"Ada," lalu setengah dari hatiku pun merasa lega. Aku memasukkan remot itu lagi pada saku dan tersenyum ceria karenanya. "Aku tidak bisa kembali dan aku akan tinggal di sini selamanya."

"Wah!" Emily pun terlihat antusias begitu mendengarnya, "kau bisa tinggal di rumahku dan akan lebih kukenalkan kau pada dunia ini, Don!"

"Terdengar mengasyikkan. Tapi sebelum itu aku harus mendapat pekerjaan di sini supaya aku tidak merepotkan. Ada pekerjaan jurnalistik di sini?"

"Tentu saja ada! Teman dari masa lalu, kau akan menjadi benda terkeren yang kupunya!"

"Benda?" aku langsung menatapnya hati-hati.

"M-maksudku koleksi. Eh, bukan. Sesuatu yang menarik? Ah, bukan juga. Lalu apa, ya?"

Aku pun tertawa begitu mendengarnya. Kuusap kepala perempuan ini dengan gemas dan dia malah balas tertawa. Setelah ia menampik tanganku, kami dikejutkan oleh suara ledakan yang tak jauh dari punggung kami. Kami menoleh ke belakang dan mendapati sebuah gedung menyembulkan asap diiringi suara sirine polisi di kejauhan.

"Ada apa itu?"

Sesudah tiba di sana setelah beberapa menit, orang-orang pun satu per satu bermunculan mengamati hotel yang baru saja diledakkan oleh bom. Seorang reporter berita melaporkan kejadian itu langsung di lapang. Dia berkata ....

"Menurut saksi mata teroris itu muncul tiba-tiba di depan matanya dan menaruh bom di sana selagi dia menghilang lagi. Sepertinya ini adalah penggunaan ilegal dari mesin ruang dan waktu yang sudah ditemukan pada tahun 1910 ...."

Mesin ruang dan waktu?

"Apa katanya?" tanya Emily dengan sarkastik.

"Kau tidak pintar sejarah ya?" tanyaku dengan skeptis.

"Bukan begitu! Aku berani sumpah tidak pernah dengar temuan seperti itu!" tolak Emily.

Kemudian debuman lain kembali muncul diiringi dengan jeritan orang-orang yang berlalu lalang. Kali ini suaranya lebih besar dan ternyata ada tepat pada gedung seberang kami. Apakah itu sebuah gedung bank?

"Lagi?!" kataku.

"Bom beruntun. Ini bahaya! Ayo kembali pulang saja!" seru Emily sambil menarik tanganku.

"Tunggu. Tunggu! Jika ini berkaitan dengan mesin dan waktu, aku curiga Fred-lah yang ...."

"Apapun itu sebaiknya kita lari dulu, Don!" sanggah Emily dan langsung menarikku dari sana.

Aku mengamati pada gedung berasap itu. Pikiranku terus mengawang-awang apakah benda ilegal yang dimaksud itu adalah temuan dari Fred? Bila iya, kurasa aku harus berbuat sesuatu.

Aku harus kembali.[]

105 Years [2015]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang