Liang'e - Woman Traveler

26 5 3
                                    

Tebersit di pikiran, 'Sejak kapan seorang pengelana memiliki tukang kagum?' kala rawi bertengger di ufuk timur, sedang netra mendapati kertas seukur folio tergolek di depan daun bilik.

Sekarang masa duha. Surat elusif entah siapa yang mengantar pagi tadi menggerakkan diri, memenuhi invitasi. Ya. Undangan perihal party yang ... sejujurnya, aku lebih tertarik pada tantangannya ketimbang perserikatannya. Mengikat, membelenggu. Meski beberapa kali pernah kuikuti party. Lagi-lagi lantaran tantangan nan berancam.

Aku suka bertantang alam.

Makanya, orang sekeliling mengenalku selaku pengelana. Berpindah ke sana kemari bak makhluk prasejarah. Taklukkan misi jua entitas perusak ialah hal yang kunikmati semasa ini. Tak terkira seberapa banyak hitungan monster kutebas dengan tajamnya mata pedang.

Kini, momen tak direncanakan tiba, memicu adrenalin. Kusiapkan dua bilah pedang di punggung. Busana lilia ketat melengkapi rok selutut, zirah ringan menutup buah dada hingga leher, tak luput rambut pirang lurus kuikat kanan dan kirinya.

Sekeliling menyapa. Tukang jual herbal, pandai besi, sekaligus wanita-wanita pemanggul kendi di kepala yang sama sekali tidak kukenal. Berbetulan aku singgah di kota ini. Kota bergaya arsitektur abad pertengahan. Gedung-gedung berpatung ala gotik, pilar-pilar kokoh tampak mengesankan.

Kucari-cari satu bangunan sesuai dalam peta mini yang terlampir bersama surat. Troya Bar. Jadi, aku usah menginjakkan kaki di ruang beraroma rum. Pastilah di sana jadi area kumpulan pria.

Aku harap, minimal bartender di sana perempuan.

Cave Claw. Judul party macam ini mengarahkan opiniku pada orang-orang kuat lagi tangguh. Penyuka tarung. Peminum berat. Si penyelenggara pastilah figur nyentrik lagi masyhur.

Manakala sebuah pedati yang ditarik reptilia macam kadal melintas, netra amber ini menangkap visual bocah lelaki melompat ke atas kusir. Kegesitannya ia manfaatkan guna menyerobot sekantong penuh koin. Gemerincing terdengar jelas. Orang-orang kaget, termasuk sang korban curi.

Bersicepat kukejar pencecak kecil yang menjauhi pedati. Ia gesit. Aku jauh lebih gesit. Hampir kucengkeram kerah bajunya sebelum berakhir pada tikungan.

Sialan!

Si pencecak cukup gesit menjauh diri. Mungkin lantaran figurnya yang mungil, sehingga lebih enteng ketimbang larinya orang obesitas.

Tanpa berlama-lama, kaki kugencat, lompat memutar di awang-awang seraya menarik sebilah pedang. Pucuk runcing hampir mengena pada dahi si pencecak tatkala kaki mendarat. Tangan mungil terangkat tanda menyerah.

"Kembalikan uangnya!"

Si pencecak gentar. Buru-buru berbalik menemui kusir pedati yang sedari tadi mengejar sambil berkoar. Dilemparkannya kain bergemerincing pada sang pemilik. Pelakunya amatir, korbannya lebih-lebih.

Kukembalikan senjata pada sarung di punggung. Seusai itu, atensi beralih ke peta. Secara tak langsung, pencecak barusan mengarahkanku pada bar yang tengah kucari. Troya Bar. Membaca namanya saja sudah membikin risi hati. Jangan-jangan, owner-nya bernama Achilles.

Memangnya, siapa peduli? Selagi tidak membuat ancam tentu tidak masalah. Akan tetapi, para adam senantiasa melecehkan golongan lemah, terutama pada perempuan. Itu yang tidak kuharapkan dari tongkrongan minum di kota ini.

Derit daun terdengar, tampaklah ruang persegi berisi dominan para lelaki. Aku terpaku di ambang pintu. Segala potret menatap dalam. Jujur saja, aku risi diamati sedemikian banyak orang.

"... Ada yang ingin bertanya?"

Kalimat pemecah kelengangan terlontar dari sesosok pria jangkung. Ia teramati usai berpidato atau semacamnya di depan para penikmat rum. Ia menegur sapa kepadaku yang masih berdiam di ambang.

Meskipun tampan, aku tetap saja benci. Kenal tidak kenal, sama saja. Aku tidak suka golongan adam. Pemarah juga penghardik. Tentu saja tidak semua dari mereka sebagaimana yang kukatakan.

"Rupanya ada yang terlambat datang, ya. Sudahkah Nona memesan minuman?" Wanita berzirah abu-abu berucap disertai nada ejek.

Aku diam saja, memilih singgah di bangku kosong dekat jendela. Mereka—orang-orang dalam bar—berkersik membicarakan eksistensiku. Entah aku yang kelewat pendiam, atau mereka merencanakan kezaliman terhadapku kelak. Perangai mereka terdeteksi mata keranjang pula penggoda wanita.

Tetapi, siapa yang berani macam-macam terhadap seorang wanita bersenjata di punggungnya?

"Bisa kau perkenalkan diri? Beberapa dari kami belum tahu namamu,"tukas pria jangkung dengan zirah melekat pada tubuh.

Mau tidak mau, aku berdiri. Membungkuk hormat, lalu memberi kenal asma, "Liang'e."

"Sudah tahu mengenai misi utama partyCave Claw yang akan dilaksanakan?"

Aku bergeming.

Belum ada yang memberitahu, bodoh!

"Misi utama kita ialah menaklukkan raja di Gua Kesengsaraan. Untuk lebih detailnya, tanyakan saja pada yang lain nanti. Untuk sekarang, kita langsung bertolak,"jelasnya setengah-setengah. Seberharga itukah waktu dalam hidupnya?

Merasa ruang melahap masa perlahan-lahan, para penikmat rum memutus diri masing-masing dari belenggu leha-leha. Termasuk pria berkedok pemimpin tadi, ia tampak membusungkan dada seraya melangkah teguh. Pintu bar dibuka lebar.

Aku menanti para adam beranjak, hingga seulur telapak kanan berselubung sarung. Wanita muda berbusana sawo matang. Ia kenakan mafela tipis, terlilit pada nia. Baja ringan nan ditempa ringkas terkena di dada, lengan, juga punggung.

"Nyu Shiang. Panggil saja Nyu,"katanya mempertunjuk nama. Aku menerima uluran tangan darinya, dibalas oleh sang wanita dengan seringai nan ceria.

Ia mengajakku keluar bar, berbaur dengan sosok gadis muda berponi tebal. Surai coklat sebahu mencipta ala gadis polos jua lugu. Kuharap, sifatnya pun begitu. Ia memberi salam disertakan senyum simpul.

"Namanya Mi. Dia anggota partyyang usianya paling muda. Jangan risaukan sifat pemalunya. Sungguh, dia itu gadis yang berbahaya."Gadis berpanggil Mi itu terkikik kala Nyu sukarela mengenalkannya padaku.

Kami menyusur jalan, di antara para adam. Si penyelenggara bersama figur pengguna katana di depan, sedang sisanya kami bokongi.

"Kukira pramutama bar itu wanita gara-gara rambutnya panjang. Setelah berbalik badan, rupanya seorang pria,"kelakar Nyu, "penampilan senantiasa menyilap mata."

Tawa pecah dari bibir Mi. Anak dara tersebut amatlah riang. Tak sampai hati diri ini tak mengacuhkannya. Semoga saja tidak ada yang berani macam-macam dengannya, kecuali dapat pertolongan bahadur di kala desak.

Terdapat petuah arkais, 'Yang paling baiklah yang akan mati terlebih dahulu'oleh karena figur-figur baik selalu berotak naif. Begitu pula pada realita, usia mereka takkan lebih lama dari busananya.

Di sela-sela Nyu juga Mi bersenda gurau, lelaki dengan katana di pinggang berbalik pandang ke belakang. Kami bertemu muka, saling tatap. Seketika badan rasa hangat, telinga hangat, telapak tangan mengepal.

"Liang'e, bukan? Kau tak ingin tahu namaku?"tanya si lelaki.

Aku mendecih. "Tak ada faedahnya."

Lelaki itu menjulur tangan, bermaksud minta jabat. Sedang aku mendugas jauh dari jangkauan. Kupalingkan muka ini pada Nyu. Ia mendapati bahwa diri tengah risi dengan adanya adam di hadap.

"Paman Muda, sebaiknya kau fokus pada perjalanan!"usir Nyu yang dibalas mata memicing heran.

Pelawatan disambung hingga gapura kota. Gua nun jauh menanti, bersiap melahap askar Cave Claw. Tinggal bagaimana kami melawan entitas peremuk nyawa di sana.

Juga satu hal ....

Mereka belum tahu bahwasanya aku benci laki-laki.

Apapun bentuknya.

Cugyase: Despair Caveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن