“Kau mengatakan tidak, tapi kenapa masih suka sekali membuatku terpesona?”

Lalu, jika seorang Kim Yohan terpesona maka itu salah Hyeongjun? Benar-benar perkataan yang tak dapat diterima akal sehat, dia yang merasa terpesona namun dia yang menyalahkan orang lain. Jika memang terganggu, maka jangan terpesona pada Hyeongjun. Bukankah dengan begitu Yohan tak akan merasa kesal lagi?

Tetapi yang tidak Hyeongjun tahu, bahwa dia terlalu mempesona untuk diabaikan. Walau tak ingin terpesona sekalipun, daya tarik pemuda manis itu terlalu besar sehingga siapapun akan jatuh dalam pesonannya sekeras apapun menolak. Jadi, tak bisa menyalahkan Yohan juga untuk perkara itu.

“Selesai.”

Membereskan kembali isi kotak P3K, Hyeongjun akan bersiap pergi dari sana. Bentuk pertanggung jawabannya sepertinya cukup sampai disana, sekarang dia bisa pergi dan tak lagi terlibat perselisihan kekanakan dengan Yohan. Mengingat pemuda itu selalu coba menyalahkannya setiap waktu terhadap apa yang dia rasakan, berhasil membuat Hyeongjun merasa begitu jengkel.

Sreett…Greepp…

“Mau kemana?”

Menggenggam tangan Hyeongjun, begitu pemuda itu bangun dari posisi duduknya dan bersiap pergi. Namun Yohan dengan cepat menghalangi, bahkan kali ini genggaman tangan pemuda tampan itu begitu berbeda. Amat sangat lembut, seolah tak ingin menambah lagi sebuah ruam pada pergelangan tangan yang terbalut plester.

“Kembali ke kelas tentu saja, aku sudah membolos hampir setengah jumlah jam pelajaranku hari ini.”

Walau sudah mendengar alasan untuk kepergiannya, tetapi Yohan tak kunjung melepaskan genggamannya. Pemuda itu terlihat seperti seseorang yang tak rela ditinggalkan, ketika sekarang menatap Hyeongjun dengan pandangan lurus. Baru pagi dia tadi terlihat ingin memukuli Hyeongjun karena merasa pemuda manis itu menipunya. Namun sekarang, dia bersikap seperti seseorang yang tak ingin ditinggalkan.

“Bukankah kau harus masuk kelas juga, Tuan Alpha Sempurna.”

Melepaskan perlahan genggaman Yohan, namun Hyeongjun tak melepaskan sepenuhnya tangan itu. Ketika dia memilih untuk menariknya, guna membantu pemuda itu untuk berdiri dari duduknya. Dan sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan, dengan tak satupun dari mereka mengalihkan tatapan. Saling menatap satu sama lain tepat pada mata, Yohan mencoba menyelami netra coklat cantik dihadapan. Warna karamel itu seolah terpendar, dengan ribuan kerlip indah didalamnya.

“Matamu, apakah selalu berwarna coklat? Atau dapat berubah?”

“Kau tahu aku hanya seorang Beta, warna mataku tak akan pernah berubah seperti kalian.”

Tetapi, mengapa? Yohan merasa sepasang mata Hyeongjun seolah berubah setiap waktu. Semakin dia menyelaminya semakin indah kedua iris tersebut terlihat. Atau hal itu berubah karena Yohan sekarang tengah jatuh cinta pada pemuda Beta dihadapannya itu.


***


“Kau tidak ada dikelas saat waktu istirahat tadi, kemana?”

Hangyul menjemput Hyeongjun ke kelasnya, begitu bel pulang sekolah berbunyi. Pemuda tampan itu melakukannya, ketika tak menemukan Hyeongjun saat datang pada waktu istirahat tadi. Padahal Hangyul ingin mengajak Hyeongjun untuk makan siang bersama, namun pemuda manis itu tidak ada didalam kelasnya. Bahkan tak ada yang tahu keberadaanya, saat Hangyul pergi mencari kesana-kemari tadi.

“Apa yang terjadi dengan tanganmu, Sunbae?” Seperti mengalihkan pembicaraan, namun Hyeongjun memang terfokus pada tangan Hangyul yang terdapat luka lecet. Luka kecil itu terlihat jelas bekas pemuda itu memukuli Yohan, tetapi Hyeongjun ingin mendengar alasan seperti apa yang akan Hangyul gunakan untuk menutupinya.

I'm BetaWhere stories live. Discover now