3. Go Public

Depuis le début
                                    

"Sorry, Jashid, saya sendiri malu punya anak seperti Gaven."

"Hahaha, saya juga malu punya anak seperti Adel yang tidak beda jauh dengan anakmu." Pak Jashid tertawa, lalu memutuskan untuk menyelesaikan pembicaraan tentang pernikahan. Topik berganti menjadi lebih santai, begitu pun Adel dan Gaven yang sibuk bergosip dan mengomentari artis yang muncul ketika keduanya melihat akun Instagram Adel bersama-sama.

Ya begitulah kegiatan mereka berdua kalau sudah bertemu. Akan selalu ada yang dibahas, seringan apa pun. Bagi Adel sendiri, Gaven adalah sosok berwawasan luas karena bisa diajak berdiskusi apa saja. Kadang, mereka juga membahas pekerjaan atau hal remeh yang tidak begitu penting. Satu poin plus jika Gaven yang menjadi suami Adel adalah, rumah mereka tidak akan diisi kekosongan belaka karena tidak saling bertegur sapa.

Toh sepertinya hidup bersama Gaven tidak buruk juga. Apa lagi ia sudah mengenal lelaki itu belasan tahun lamanya. Ya meski belum keluar semua wataknya, paling tidak ia sudah tahu beberapa hal buruk yang ternyata masih bisa ia terima.

"Kita pakai WO yang biasa dipakai aja, ya? Yang udah jelas. Lagian satu bulan itu sebenarnya terlalu cepat."

"Boleh tuh, mana si Gaven mau resepsi yang besar-besaran. Dipikir mempersiapkan kayak gini nggak capek apa? Mana nggak usul apa-apa. Cuma terima jadi aja." Bunda Gaven melirik anaknya—yang sedang asyik sekali mengobrol dengan Adel—malas.

Namun, mungkin karena Gaven sudah panas disindir terus sejak tadi, akhirnya ia angkat bicara.

"Oke, Gaven sama Adel ada usul ini, Bun. Biar Bunda sama Tante enggak pusing-pusing amat." Gaven menyambar ponsel Adel untuk ditaruh di saku jas, dan menyuruh sahabatnya itu untuk memberi tahu usulan seperti apa pernikahan impian mereka. "Kami sepakat ingin memakai dekorasi serba putih dengan bunga asli. Gaun untuk akad dan resepsi biar kami yang mencari. MUA juga. Atau ... sekalian deh, wedding organizer-nya juga saya sama Adel yang cari. Kebetulan kami punya teman yang bekerja di bidang itu."

"Lho? Emang WO punya temanmu itu bisa dipercaya? Ini bukan acara tunangan doang lho, Gav."

"Saya yakin dengan kemampuan teman saya. Hitung-hitung membantu."

"Oke. Pokoknya semua harus perfect, ya. Tante sama Bunda kamu akan bantu memantau."

"Tenang aja, Ma. Gini-gini Adel nggak mau mempermalukan diri sendiri juga."

"Yakin, nggak mau pakai gaun Rosaline juga?"

"Dih Mamaaaa jangan ngomporin gitu ah! Nanti iman Adel bisa goyah ini." Adel mengerang frustrasi.

Siapa sih, yang tidak ingin memakai gaun rancangan desaigner kondang itu? Adel jelaslah mau. Sayangnya, ia mempunyai calon suami yang keadaan finansialnya tidak memungkinkan untuk menikah dengan budget gila-gilaan. Jadi ya terima saja. Toh sepertinya rancangan gaun Olivia Zalina—sepupu Gaven—tidak kalah mempesona.

Diskusi yang tadi sempat diakhiri malah kembali terjadi. Terlebih kedua calon mempelai ikut menyuarakan pendapatnya.

...

Adel dan Gaven mengulum senyum—lebih tepatnya menahan diri untuk tidak tertawa—setelah mendapati teman satu kantor memaki keduanya karena membaca nama yang tertera di undangan.

Gaven Januari Adhyaksa
&
Adelaide Saphira Jashid

Sengaja. Mereka berdua dengan sengaja memberikan undangan untuk teman-teman kantor tepat seminggu sebelum pernikahan itu dilaksanakan. Dan sungguh, Gaven dan Adel sangat puas dengan keterkejutan yang mereka dapatkan. Tidak lupa pula umpatan yang beberapa orang lontarkan, karena mengira keduanya sudah berbohong saat mengatakan tidak ada hubungan apa-apa.

"Nggak ada hubungan apaan, anjir! Tahu-tahu nikah gini. Bangke juga kalian ya, sok-sokan backstreet padahal akhirnya nikah juga."

"Sialan, ketipu mentah-mentah gue. Herannya juga percaya waktu mereka bilang cuma sahabatan. Sahabat apaan yang menikah?!"

"Ini lo ceritanya Friend with Benefit terus kebobolan apa gimana?"

"Bangke! Ya enggak, lah! Gini-gini gue masih ting-ting." Adel nyolot sendiri begitu pembahasan FWB diangkat. Ya bagaimana, wong dirinya ke kelab atau check-in bersama Gaven saja tidak pernah. Dan sedikit pun ia tidak pernah kepikiran menjalin hubungan semacam itu dengan Gaven.

"Udahlah yuk, kabur aja. Di sini lama-lama panas juga. Lo beneran ngajuin surat resign hari ini?"

"Ya iya. Pengin jadi Nyonyah rumah aja sambil bikin kebun mini di halaman samping." Adel mengibaskan rambutnya dengan gaya dibuat seangkuh mungkin hingga mengenai wajah Gaven, sedangkan lelaki itu balas mengacak rambutnya dan membuat Adel mencak-mencak sendiri.

"Oke deh, kayaknya gue juga resign karena harus kerja di Adhyaksa lagi."

"Lah? Katanya males pusing di sana? Ntar kalau gue pengin shopping siapa yang mau nemenin sekaligus ngasih duit, Gapen?!"

"Justru karena ada ughtea yang harus gue jadiin istri, gue milih kerja di sana, Kedelai. Karena calon istri gue ini matre, makanya mau sama gue."

"Mata lo!"

Adel memukul keras bahu Gaven hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. Enak sekali lelaki itu bicara. Dirinya ini bukan matre, hanya realistis saja. Kalau ada yang kaya raya dan cocok, kenapa tidak?

Mereka juga sudah pernah mendiskusikan ini sebelumnya. Hanya saja seperti biasa, pembahasan itu tidak pernah serius dan Gaven juga iya-iya saja. Gaven sendiri tidak masalah dengan keinginannya yang mau menjadi istri solehah saja di rumah dan menghabiskan uang suami. Dan kesempatan itu tidak boleh disia-siakan, kan? Hihihi.

~~~
Lnjut lgi gk?

Just Let's Do ItOù les histoires vivent. Découvrez maintenant